Minggu, 14 April 2013

Seni Menelanjangi Diri



I
Dalam suatu obrolan dengan rekan-rekan di kelompok studi Sophia di Bandung, saya disuguhkan istilah seni menelanjangi diri. Istilah yang pada awalnya dipahami sebagai bertelanjang tanpa pakaian, secara bersama-sama, dengan malu-malu awalnya lalu tertawa bersama-sama. Melewati batas malu dan kemaluan, menyuguhkan setiap lekuk tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yang bagian hitam terlihat jelas bagian hitamnya, yang bagian putih terlihat jelas putihnya. Dan akhirnya berkata, kamu begitu rupanya, kamu begitu itunya, kamu begitu anunya, saya begini dan begitu juga. Hitam putih sama-sama penuh nafsu dan gairah. Kamu dan saya sama-sama telanjang. Sama-sama manusia.
 
Dalam ungkapan nonverbal tersebut, menelanjangi diri bisa diartikan untuk mengetahui kondisi asli setiap individu-individu yang ada. Melepas setiap bentuk identitas yang diberikan oleh orang lain dalam relasi sosialnya, dan menghilangkan segala bentuk pengkategorian yang melekat pada diri. Mencari dan melihat sesuatu yang unik pada tubuh masing-masing. Terpampang jelas dari tubuhnya saja, yang disebut tubuh subjektif.

Lalu, apa yang disebut dengan tubuh subjektif tersebut ? Maksudnya, dari gambaran tubuh saja, kita sudah melihat perbedaan seseorang dengan yang lainnya, ini bisa juga diartikan sebagai bakat. Setiap subjek berhak mengekspresikan tubuhnya masing-masing, yang lainnya menonton dan memahami. Oh ya, memang dia, tubuh yang subjektif.
Subjek dalam arti, melihat kepada tubuhnya dan berdialog dengan tubuh-tubuh yang lain tanpa harus meniru tubuh yang lain. Artinya, dilampauinya dunia luarnya dengan terus menegmbangkan sisi subjektifnya. 

Dengan cara bagaimana kita mengembangkan sisi subjektif tersebut ? Dengan terus mengeksplorasi bagian-bagian tubuh, lewat pengetahuan dan berlatih keras menggerakan tubuhnya. Rasa penasaran merupakan modal penting untuk terus mencari sejauh mana individu mengetahui dan mempopulerkan tubuhnya.

Bisa kita bayangkan para penari yang menari di pusat kota budaya semacam Paris di Perancis. Tentunya tidak sembarang penari bisa tampil menari di kota itu. Atau di kota Moskow, Rusia, yang terkenal dengan tari baletnya yang khas dan gedung pertunjukannya yang eksotis, idaman para pekerja seni untuk bisa menunjukan kebolehannya. Di beberapa kota di Negara kita juga mempunyai tempat yang seperti itu, sebut saja Taman Ismail Marzuki, Keraton Yogyakarta, Rumentang Siang Bandung, Kesepuhan Cirebon, Bali dan sebagainya. Karena memang Negara kita terkenal dengan budaya dan keseniannya. 

Dalam beberapa pertunjukan di kota tersebut, para pekerja seni tidak kenal lelah berlatih, membaca, mengeluarkan seluruh kemampuan subjektifnya yang unik. Gairah mengembangkan dan mengeksplorasi inilah yang akhirnya kita bisa melihat sejauh mana tubuh subjektifnya bekerja, termasuk tubuh subjektif yang ada dalam diri masing-masing. Ada yang biasa, ada yang unik dan membuat kagum.

Dalam dunia kesusasteraan misalnya, kita bisa melihat Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kelahiran Blora. Dia mampu meresapi tubuh subjektifnya dalam karya-karyanya. Jalinan antara biografi kehidupan, realitas diluarnya, dan hasil bacaannya, dia ceritakan dengan khas sisi tubuh subjektifnya. Penghayatan terhadap profesinya demikian kuat. Tidak aneh kalau karya sastranya diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing. 

II

Selain dalam bahasa nonverbal, seni menelanjangi diri juga bisa disalurkan dalam bahasa verbal. Biasanya dilakukan dalam suatu kelompok yang ingin mengenal jauh setiap individu-individunya, termasuk di Sophia. Dalam obrolan yang tidak disengaja dan santai pula, setiap individu mengungkapkan apa yang dialami dan dihayati dalam hidupnya. Khususnya peristiwa-peristiwa yang member kesan dan mempengaruhi cara pikir dan lakunya kemudian. Ada yang bercerita, ada yang mendengar.

Awalnya terasa berat, tapi karena semuanya bercerita menjadi ramai dan saling memahami. Waktu seharian tidak cukup, apalagi kalau banyak orang. Menelanjangi dalam bahasa verbal ini bermaksud untuk menghargai suara-suara subjektif yang keluar dari dalam hatinya. Suara yang biasanya tertutup oleh rasa gengsi, malu, takut, yang akhirnya menjadi masalah di kemudian hari, sakit.

Dengan gaya verbal ini, juga dipahami sebagai merenung, jeda dalam rutinitas keseharian, mencoba mengenal diri sendiri, sang ‘aku’. Tetapi, adakalanya terasa sulit untuk melihat diri sendiri jika sendirian. Kenapa ? Karena subjek, sang ‘aku’, selalu tertaut pada yang lain dalam cara relasinya, dalam kesadarannya. Baik dalam pikirannya, atupun perbuatannya. Sekalipun dengan cara pandang demikian (subjek-objek), susah sekali untuk meluangkan waktu memikirkan sang ‘aku’, subjeknya, diri sendiri. Mentalitas modern yang demikianlah, akhirnya membuat mencerabut sisi subjektif manusia, dan menjadi penyakit di masa sekarang ini.

Dengan cara dialog seni menelanjangi diri ini ditampilkan, setiap orang berposisi sebagai subjek. Subjek yang bercerita, subjek yang mendengar. Tidak ada penghakiman etis atas sikap seorang subjek. Biarlah dirinya sendiri yang menilai ke’aku’annya. Biasanya diselingi banyolan dari yang mendengar. Emosi lebih dimainkan daripada rasio dalam seni ini. 

Hal lain dalam seni ini, juga menunjukan relasi pengetahuan dengan kehidupan keseharian manusia. Pengalaman menjadi kata kuncinya. Bagi yang bercerita, subjek menunjukan pengalaman berikut cara mengatasi hidupnya. Bagi yang mendengar, mencoba menghayati pengalaman yang bercerita serta membandingkan dengan pengalaman hidupnya sendiri. Sehingga pengetahuan dan kehidupan nyata si subjek lebih kompleks dan tidak terjebak pada egogisme dan tuturut munding dalam peribahasa sunda. Subjek berusaha memahami hiudpnya dan dirinya berhak memunculkan ciri khasnya.

III

Pada akhirnya, seni menelanjangi diri dalam gaya nonverbal dan verbalnya ingin berusaha menghadirkan sisi subjektif manusia dalam relasi dengan dunia luarnya. Karena tidak ada manusia yang diciptakan dengan sia-sia. 

Melepaskan dulu segala identitas sosial yang semu, sejenak berpaling pada identitas diri, merumuskan diri sendiri, tubuh subjektif, sang ‘aku’, subjek. Sejauh dengan kehidupannya selama ini, eksistensi ‘aku’ dipertanyakan kembali. Terkait dengan perannya menjadi manusia. Sudah berapa jauh tubuh subjektifnya mendayagunakan potensinya, adakah usaha tersebut ?

Menelanjangi diri hanya selesai dengan kematian yang penuh dengan percaya diri. Semangatnya untuk menunjukan diri yang otentik, tidak tergerus oleh irama-irama musik dari luar. Tubuh subjektifnyalah yang membuat nadanya sendiri dengan gaya yang khas dirinya.
Ternyata seni ini hanya bisa dilakukan pada subjek yang mau mengerti tentang sisi terdalam dalam dirinya. Yang bisa menempatkan manusia lainnya sebagai subjek dan menghormatinya, seperti menghormati dirinya sendiri.

Menelanjangi diri juga sadar akan awal yang telanjang dan akhir yang telanjang pula. Pada kondisi tersebut, tak ada yang melekat selain ke’aku’annya. Tubuh yang telanjang, yang terus berusaha mengarungi dunia dengan cirinya yang khas. Dan akhirnya, bertemu dengan SANG SUBJEK yang khas pula disertai canda dan senyumanNya, bukan subjek tiruan yang murah harganya.

Taman Baca Sophia, 21 Maret 2013, 04.19 WIB

dimuat juga dalam buletin Baca ! Sophia edisi II April 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar