Minggu, 31 Maret 2013

Catatan Sesi ke-6 Kuliah Filsafat Pemberontakan


Episode Bertemu Maulana
Dalam kemalasanku, aku berniat habiskan waktu sore ini untuk tidur. Mengatasi segala kebimbangan dan segala bentuk takut. Mungkin pembaca merasa heran, kenapa harus tidur ? Bukankah itu suatu bentuk kemalasan yang sangat ? Aku Jawab, bisa iya, bisa tidak.
Belum lama aku tertidur, sebelumnya tak penah dijanjikan atau direncanakan. Suara tawa terdengar dari jauh, samar-samar, mulai mendekat dan semakin nyaring tawanya. Perlahan langkah demi langkah kurasa betul, berjalan menghampiriku yang sedang duduk termenung sendirian. Berbaju putih, bersarung putih serta sorban pun putih. Semuanya putih.
Sejenak suasana menjadi tambah hening, hening sekali. Aku coba tatap dengan jelas, siapakah orang yang datang di mimpiku ini dan sekarang berdiri di hadapanku. Hmmm……ternyata Maulana. Dia tersenyum melihatku, aku pun membalas senyumnya penuh tanda tanya.
Maulana : “Kenapa kamu is ?” memulai pembicaraan sambil menurunkan badannya, duduk bersila di hadapanku.
Saya : “Kau pasti tahu kebingunganku !” jawabku.
Maulana : “Tidak !, aku tidak tahu !” tegas Maulana.
Saya : “Lalu, kenapa kau datang dalam mimpiku ?” tanyaku penasaran.
Maulana : “Karena aku ingin !”, datar bicaranya.
Saya : “Hmmmm….gitu ya. Tidak mungkin tanpa alasan kau tiba-tiba datang kepadaku”. Semakin penasaran
Maulana : “Hahahaha…..”. Maulana Tertawa keras mendengar rasa penasaranku. “Aku memang sengaja datang kepadamu, karena aku lihat kau dalam kebingungan. Sepertinya sangat bingung, benarkah ?”. Matanya mendesak diriku bercerita tentang persoalan yang kuhadapi.
Saya : “Baiklah, begini Maulana”, aku memulai pembicaraan. “Malam jumat kemarin, aku dan teman-teman hadir dalam kuliah Filsafat Pemberontakan bersama Kang Ami. Biasanya, malam selasa kuliah itu, tapi karena Kang Ami berhalangan hadir, jadi dia menggesernya ke malam jumat”.
Maulana : “Merokoklah biar santai”, sambil mengeluarkan rokok dari saku jubahnya. “Dan buatkan aku kopi, biar aku nyaman mendengarmu bercerita”.
Saya : “Ok ! Tunggu sebentar, biar aku panaskan dulu airnya. Sambil menunggu air mendidih, aku lanjutkan ceritaku.“
Maulana : “Yap…..aku dengarkan…huffff…..nikmat sekali rokok ini”. Maulana rileks sekali menghisap rokoknya.
Saya : “Nah….tak banyak yang hadir kuliah tersebut. Mungkin teman-teman yang lain punya kesibukan. Padahal aku sudah ingatkan siangnya. Untungnya, Kang Ami tak mempersoalkan banyak atau tidaknya yang hadir. Seperti biasa, dia datang penuh semangat, kalaupun agak telat, karena harus menemani dulu anak-anaknya untuk makan malam. Sebentar ! ……airnya mungkin sudah panas, aku buat kopi dulu”. Segera aku pergi ke dapur. “Kau mau kopi apa Maulana ?” tanyaku.
Maulana : “Seperti biasa…..”jawabnya datar.
Saya : “Ini kopinya, hati-hati masih terlalu panas. Aku memasaknya di kompor, tidak dari dispenser”, cepat memberitahu, karena  biasanya Maulana suka langsung meminum kopinya.
Maulana : “Oh…iya.terima kasih. Lanjutkan ceritamu”. Cepat maulana sambil memegang gelasnya dan menyimpannya kembali, karena memang kopi tersebut masih terlalu panas untuk dinikmati.
Saya : “Dalam kuliah itu, Kang Ami menceritakan padaku tentang tema ‘kembalinya segala sesuatu’, akhir dari tema filsafat pemberontakan Friedrich Nietzsche. Ada yang terlewat sebenarnya, yaitu tentang Ubermensch. Kang Ami lupa membawa filenya, setelah mencari-cari di laptopnya”.
Maulana : “Lalu, apa masalahmu ?”, potong Maulana sambil menikmati kopinya.
Saya : “Ya itu….tentang tema itu, ‘kembalinya segala sesuatu’, aku tidak cukup paham Maulana. Aku sulit sekali memahami tema itu. Konon tema itu merangkum semua dari ide-ide F. Nietzsche.
Maulana : “Semuanya ?”, tanya Maulana Penasaran.
Saya : “Ya….semuanya”, jawabku cepat. “Tidak hanya seperti yang Kang Ami ungkap, aku juga baca di buku karangan ST Sunardi yang membahas tentang pemikiran Nietzsche. Bahwa gagasan Nietzsche, dimulai dari ‘nihilisme’, ‘kehendak untuk berkuasa’, ‘revaluasi nilai’, ‘moralitas tuan-moralitas budak’, dan Ubermensch, semuanya terangkum dalam totalitas dari gagasan ‘kembalinya segala sesuatu’. Di tema itu juga, konon Nietzsche berusaha menulisnya tidak dalam bentuk aforisme lagi, melainkan dalam bentuk skematisasi. Maksudnya, Nietzsche ingin berusaha meyakinkan banyak orang bahwa gagasannya termasuk dalam kategori ilmiah. Nietzsche pun merasa bahagia sekali ketika mendapatkan gagasan ‘kembalinya segala sesuatu’, sampai ia menyebutnya sebagai pengetahuan yang mengasyikan (la gaya scienza).”, aku coba terangkan apa yang aku tahu pada Maulana.
Maulana : “Tadi kau bilang ada yang terlewat…..?”, potong Maulana berusaha memahami jalan pikiranku.
Saya : “Iya….tentang ‘Ubermensh’. Dan itu akan dibahas senin besok !”, jawabku penuh percaya.
Maulana : “Nah…itu masalahmu. Bersabarlah dalam memahami sesuatu. Jangan terburu-buru. Belajar filsafat itu menuntut kesabaran, bukan pada hasilnya, tapi dari prosesnya ! Bagaimana kamu memahaminya dengan baik sambil diterapkan dalam keseharian kamu”.
Saya : “Ya…aku sudah dengar itu dari Kang Ami di awal sesi kuliah filsafat pemberontakan ini. Bukan hanya sekedar tahu dan menjadi ahli filsafat, tapi lebih pada sikap sebagai sebagai Filusuf itu sendiri, wise atau wisdom. Yang tidak cukup dengan rasio saja, rasa dan karsa juga harus dilibatkan. Dan semua manusia adalah Filusuf, jika bisa mendayagunakan segenap potensi yang ada dalam dirinya”.
Maulana : “Betul itu…….”, jawab Maulana cepat, sambil berdiri hendak pergi. “rais……rais…..aku senang melihatmu gelisah. Namun, tak cukup dengan gelisah saja, kamu harus buat jejak dalam hidupmu !”…..terdiam sejenak….”kamu ingin paham tentang tema itu ?”
Saya : “Ya iyalah Maulana”, pungkasku semangat.
Maulana : “kalau begitu, sebut saja namaku 3 kali atau ratusan kali, lalu kau tulis segala keinginanmu. Kamu pasti akan mengerti tentang ‘kembalinya segala sesuatu’. Buang Segala bentuk ketakutan !....hahahahaha………”Maulana mengambil gelas kopinya, dan menyiramkannya pada wajahku. Pergi menghilang dengan tawanya yang lepas.
Sontak….segera aku terbangun dari tidurku, terlihat disampingku segelas kopi bahe, mungkin karena tersenggol oleh badanku. Cepat aku ambil baju kotor untuk mengelapnya agar tidak tercecer kemana-mana. Tertegun memikirkan kejadian dalam mimpi, benar memang Maulana datang di mimpiku. Mencoba mengingat-ingat apa yang dikatakan Maulana dalam mimpi, aku lebih baik tulis saja,
“Maulana…….Maulana…….Maulana…….
Keinginanku sekarang ini,
Menyiapkan tulisan hasil dari kuliah filsafat pemberontakan ala Nietzsche yang berlangsung di Sophia
Memperbaiki tulisan, segera menerbitkan buletin Sophia edisi ke-II dan selanjutnya
Memperbaiki blog Sophia atau Taman Baca Sophia, dan mengelolanya dengan baik.
Buang segala ketakutan ! begitu ungkap Maulana….hmmmmmm……aku masih kurang paham, mungkin bisa lebih jelas setelah dapat materi tentang Ubermensch senin besok.
La gaya Maulana……
to be continue untuk ‘kembalinya segala sesuatu’

Taman Baca Sophia, 30 April 2013, 17.12 WIB

Ulasan tentang buku “Tinggalkan Sekolah Sebelum Terlambat” karya James Marcus Bach

Mbah Modjo

Saya ingin sekali menulis tentang feeling saya setelah membaca buku ini, tamat 1 kali. Kenapa ? Karena takut terlarut lagi dalam rutinitas lain dan tidak sempat menulis. Tadinya rencana menulis setelah menamatkan 2 kali membaca, sepertinya tidak. Karena setelah 2 kali, saya ingin segera menyarankan membaca pada beberapa teman atau saudara saya, terutama adik saya, yang kini sedang asyik menyusun tugas akhir di salah satu kampus teknik di Bandung. Sepertinya, dia akan lebih menghayati buku ini, karena penulis buku ini juga tidak jauh latar belakangnya dengan adik saya.
Sebelum terlalu jauh, saya ingin berterima kasih pada teman saya, modjo. Dia yang member buku ini pada saya dengan penuh pengorbanan, rela dipotong gaji untuk menukarnya dengan buku ini. Minatnya dalam dunia music (vokalis group music Kopi Bahe), tidak melupakan perannya yang lain, seperti dalam penghayatan atas lirik-lirik lagunya, perjuangan untuk menjadi manusia.
Sebagai seorang teman, dia memang pantas disebut teman, bahkan lebih dari itu. Memberi sesuatu yang berarti buat temannya, tidak sekedar berbagi kopi dan rokok. Inspirasi untuk menjadi subjek, yang memaksimalkan segala potensi dalam diri tanpa lupa untuk tetap peduli terhadap sesamanya. Saya iri belum bisa berbuat demikian, saya lebih asyik dengan dunia saya sendiri, yang terkadang lupa pada sesama.
Belajarlah ala bajak laut ! buku ini membuat semacam pernyataan, sikap bagi siapa saja yang mempunyai keberanian. Bajak laut, bisa diimanjinasikan, seorang yang berani berlayar ke laut, samudera yang luas terbentang, tidak takut dengan terpaan ombak dan badai, melepas layar dan mencoba mendekati mimpi, selalu beradaptasi dengan segala bentuk cuaca. Ya, bajak laut memang pengembara. Yang mencari pengalaman dari satu pulau ke pulau yang lain, tidak terikat. Namun, bukan dalam arti lepas dari tanggung jawab dari apa yang menjadi keinginannya. Konsekuensi dari sikapnya, diterima dengan sepenuh hati.
James Marcus Bach, penulis buku ini, berusaha memakanai pendidikan bagi dirinya seprti layaknya si petualang bajak laut. Penghayatannya begitu dia rasakan dengan sikapnya kemudian. Coba kita lihat beberapa pesan yang dia sampaikan,
“Pendidikan memang penting. Sekolah tidak penting. Saya tidak membutuhkan sekolah.
 Begitu juga kalian.
Saya belajar, tapi saya tidak sekolah.
Sekolah hanya sementara. Pendidikan tidak. Jika kalian ingin berhasil dalam hidup; temukan sesuatu yang membuat kalian takjub dan pelajarilah. Jangan menunggu sampai seseorang mengajari kalian; semangat kalian yang berkobar-kobar akan menarik guru-guru untuk datang pada kalian. Jangan mencemaskan tentang diploma atau gelar; berusahalah agar menjadi sangat baik sehingga tidak ada yang bisa menolak kalian.”
Saya hanya kutip beberapa saja dari pesannya, yang saya anggap penting. Penting untuk saya kasih komentar dan penting untuk saya sendiri.
Sekolah memberikan materi pelajaran kurang lebih sekitar 6 jam, kalaupun ada juga yang sampai 9 jam, biasanya diselingi dengan beberapa menit untuk istirahat. Jika merasa belum bisa dan kurang waktu belajarnya, siswa mencarinya di tempat kursus. Biayanya lebih dari biaya sekolah, dan itu hanya bisa dilakukan oleh siswa yang mempunyai orang tua yang kaya. Namun, dari rumitnya hal-ihwal tentang pendidikan kita, pertanyaan dasarnya, apa itu yang disebut dengan pendidikan ? Apa cukup dengan memberikan kata gratis sekolah dari SD sampai SMP, atau bahkan sampai Perguruan Tinggi (PT) ? Saya mengendus lingkaran kemiskinan tanggung jawab dalam dunia pendidikan kita sekarang.
Apalagi dikampus saya, ketika institusi pendidikan sudah berjabat erat dengan politik. Bungkam ! lebih baik cari aman (lulus, naik pangkat, beasiswa, dan sebagainya). Kurangnya penghargaan terhadap orang-orang yang berilmu dan berprestasi, yang nurut-matutlah yang dihargai. Sialnya, itu dianggap wajar dan harus dijaga kelangsungan budaya tersebut (status quo). Pendidikan sudah mulai salah arah, jauh untuk semangatnya membebaskan manusia, membuat manusia merdeka. Singaktnya, Manusia No, meri Yes. Sepertinya begitu yang saya lihat.
Sempat frustasi. Tapi buku ini membuat suatu rasa optimis lagi. Belajar seperti bajak laut terlihat sebagai daya juang untuk terus belajar, mengasah kemampuan diri. Membaca, menulis, berdiskusi tanpa harus dibatasi oleh ruang kelas sekolah atau kampus. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana sikap orang-orang yang berada di negara-negara maju tentang belajar ? Belajar ala bajak laut, memberikan kebebasan untuk memilih dalam cara kerjanya, mau sampai sejauh manakah diri kita ? diri sendiri yang menjawab itu.
Mimesis (peniruan) dalam episteme Filusuf Plato, bisa diartikan sebagai rasa takjub. Konon katanya, orang-orang dulu membuat pesawat terbang karena melihat seekor capung yang terbang, manusia mengembangkannya sampai bentuk pesawat sekarang ini. rasa takjub merupakan modal penting dalam belajar, awalnya adalah mengamati. Dari mengamati timbul rasa penasaran, dicarinya segala hubungan yang terkait dengan apa yang diamati tersebut.
Buku ini merupakan gambaran penulis dalam mendidik dirinya sendiri. Penulis mengemukakan metodenya sebagai seorang bajak laut yang tidak kenal lelah menempuh diri untuk apa yang diinginkannya. Saya jadi teringat ungkapan filusuf lainnya, ketika membayangkan tentang bajak laut, pulau, perahu dan laut,
“Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal ! Kita sudah membakar jembatan dibelakang kita…dan lagi, kita juga sudah menghanguskan daratan di belakang kita ! Dan kini, hati-hatilah, kau kapal mungil ! Samudera raya mengelilingimu; memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang dia tampak lembut bagaikan sutera, emas, dan mimpi yang indah. Namun akan tiba waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia itu tidak terbatas. Oh. Burung-burung yang malang yang merasa bebas dan kini menabrak dinding-dinding sarangnya ! Ya, bila kau merasa rindu akan daratanmu yang seolah menawarkan kebebasan lebih banyak…dan tak ada daratan lagi.”
Tak ada kepastian lagi selain diri kita sendiri. Belajar dengan semangat yang berkobar-kobar, seperti tawaran yang diajukan oleh nurani yang ingin bebas, yang ingin merdeka, yang ingin tak jadi meri, yang ingin menjadi manusia.
Dengan metode bajak laut, bukan artinya harus menjadi bajak laut sungguhan. Pencarian yang tak kenal henti untuk menempuh hidup, serta pengalaman yang menemu petanya sendiri untuk menghadapi segala berbagai bentuk kemungkinan dalam hidup. Lagi-lagi sentilan filusuf mengingatkan saya,
“Percayalah padaku; rahasia memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup dengan bahaya ! Dirikanlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius, kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan ! Hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri.”
Saya jadi teringat ketika dalam sebuah malam yang terlihat kurang ramah terhadap tubuh, hujan disertai angin yang mendesak mencari-cari sesuatu yang bisa diselimutkan. Teriak langit dibarengi dengan kilatan-kilatan cahaya membuat semakin terasa mencekam. Benar, apa yang disampaikan oleh guruku, bahwa alam semakin tak menentu, mulai menampilkan sisi buasnya. Mempertanyakan eksistensi dari makhluk yang bernama manusia. Yang kini sedang berada dalam buaian rasa aman, yang takut berlayar, takut dalm memilih.
Senang sekali bisa membaca buku ini, thanks ya modjo.

Minggu, 10 Maret 2013

Catatan Kuliah Filsafat Pemberontakan Friedrich Nietzsche sesi III


Maaf kalau saja tulisan ini telat datangnya, dikarenakan sibuk dengan ketidakrutinan dalam seminggu ini. Tidak bisa diprediksikan apa yang sudah digagas, beberapa buku memikat perhatian, membuat lahirnya catatan ini mungkin menjadi kabur isinya dengan yang diobrolkan ketika kuliah. Aku tak minta maaf pada yang lain, diriku yang berhak menerima maaf itu. Tapi aku bilang juga pada diriku, kalau aku sudah puaskan hasrat tahu yang selama ini terkubur dalam kemewahan dan tawaan semu.

Nihilisme, suatu paham yang dilontarkan oleh Filusuf yang sedang dibahas bersama rekan-rekan Sophia. Semuanya bicara dalam diskusi tentang Nihilisme Nietzsche, karena mungkin apa yang diramalkan oleh Nietzsche sedang terjadi dalam kehidupan kita sekarang ini. Dalam aforisme nya dia mengatakan:
“What I relate is the history of the next two centuries. I describe what coming, what can no longer come differently: the advent of nihilism. This History can be related even now in hundred signs, this destiny announces itself everywhere; for this music of the future all ears are cocked even now…”
- The Will to Power F. Nietzsche –

Seolah seperti ahli nujum di saat sekarang, bahkan Nihilisme itu sudah terjadi pada saat Nietzsche menyumpahnya, ungkap Kang Ami. Semuanya tertegun diam beberapa saat, mungkin masih ada yang belum dimengerti. Sebenarnya untuk memahami Nihilisme ala Nietzsche memang harus sudah bisa mengikuti gaya berfilsafat orang-orang Modern, abad yang diwarnai beberapa aliran filsafat, rasionalisme, empirisme, kritisisme, romantisme, idealisme, materialism, positivism dan itupun cukup pelik(rigorus), membutuhkan kesinambungan dalam mengamatinya. Namun kang Ami membawakan Nihilisme ini dalam cara yang sederhana, ruang keseharian kita menjadi medan dimana Nihilisme itu mencolek perhatian kita. Lalu apa sih Nihilisme itu?

Nihilisme dalam arti singkat, ialah runtuhnya nilai-nilai yang diyakini manusia dalam perjalanan hidupnya. Manusia tak tahu lagi untuk apa tujuan dirinya hidup. ‘untuk apa?’, pertanyaan mendasar untuk mengantarkan kita pada persoalan yang mau kita bicarakan, lebih jelasnya jembatan menuju Nihilisme. Ayo untuk apa?

Jawaban yang sering dan akan kita temukan dalam kehidupan kita di tengah mayoritas orang beragama, nilai itu adalah agama. Agama yang melingkupi semua bentuk rutinitas keseharian kita hidup. Agama adalah segalanya. Nietzsche mengungkap dalam aforismanya,
“Masa depan dari  nihilisme sudah berbicara pada saat sekarang ini dengan ratusan tanda-tanda; tanda-tanda akan datangnya nihilisme ini mencuat di mana-mana.“

Tanda-tanda, Nietzsche mengungkapnya dalam penuh tanda tanya. Kita bertanya, apa tanda-tanda tersebut. Kehidupan beragama yang kita alami sekarang ini, itu tanda-tandanya. Baikalh kita akan mengelak, bahwa itu orangnya yang membuat agama menjadi rusak. Bagi Nietzsche apapun alasannya, itulah yang terjadi. Nietzsche hanya berucap dengan tanda-tandanya, nilai agama menjadi runtuh seketika. Agama diperkosa bersama-sama. Moralitas menjerit dimana-mana sambil memakan korban. Nietzsche akhirnya harus bicara,
”Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya.”
terdapat dalam bukunya yang berjudul Die Fröhliche Wissenschaft yang ditulisnya saat di Genoa (1880).

Keadaan Nihilisme merupakan kondisi yang normal, kondisi yang pasti tejadi. Kenapa demikian? Karena menurut Nietzsche, tak lain karena dengan cara berpikir kita yang meminta jaminan kepastian dari sesuatu yang datang dari luar dirinya, agama misalnya, atau tuhan. tuhan seperti apa yang dilihat Nietzsche dan membuat manusia begitu impoten dalam hidupnya? Sekalipun manusia telah membunuh tuhannya, dengan otomatis dia akan mencai tuhan-tuhan lainnya atau menciptakan tuhan yang baru, tuhan dipandang sebagai penjamin kehidupan. Apakah demikian adanya?

Dalam kondisi demikian, dimana tidak ada lagi nilai yang dipegang, nilai yang diyakini (kalaupun meyakini kita larut dalam proses penyiksaan tehadap nilai-nilai itu secara bersama-sama), maka seharusnya segera mawas diri. Inilah yang saya ungkap sebagai fase krisis eksistensi manusia dalam hidupnya. Semuanya terlihat memuakan, sekaligus menggelikan. Memuakan melihat sekeliling kita yang merasa seolah tidak terjadi apa-apa. Menggelikan karena melihat diri yang hanyut dalam arus penghancuran nilai-nilai. Semuanya terlihat tak bermakna.

Karena itu ungkap Kang Ami sambil menatap semua peserta, kalau sudah melihat semua itu dan merasakan khawatir terhadap diri, khawatir menjadi manusia yang sakaba-kaba ikut arus dalam hidup yang nihil dan tak bermakna ini, kita mau berbuat apa?

Nietzsche lalu menawarkan apa yang disebut dengan transvaluasi nilai. Artinya diri sendiri yang menciptakan nilai bagi dirinya. Nilai yang tidak bersandar pada keabsolutisan pada suatu hal. Kebenaran dipahami sejauh memberikan daya tawar pada diri untuk menjadikan diri ini lebih kreatif. Kreatif dalam semangat meneruskan kehidupan di tengah dunia yang khaos dan absurd, dengan nilai yang diciptakan tersebut kita mampu beriringan dengan realitas tanpa harus terbawa arus.

Memang ada kesulitan untuk memunculkan nilai tersebut, karena masih enggan untuk mengambil identitas yang berbeda. Apalagi jika disangkutpautkan dengan Negara, hubungan orang per orang memang terlihat konformistis. Karena itu tak aneh jika Nietzsche dan para Nietzschean lebih banyak mengahabiskan waktunya dalam kesendirian, tak banyak bertemu dan berbicara dengan banyak orang, namun suaranya jelas nyaring terdengar dalam abad sekarang. Abad kita hidup. Abad yag diramalkan Nietzsche dan abad yang dialaminya.

Selanjutnya, untuk bahasan lebih mendalam tentang kritik Nietzsche terhadap orang beragama dan cara pandang Nietzsche terhadap nilai-nilai agama, akan dibahas besok dalam waktu seperti biasanya. Karena itu, perbanyaklah waktu membaca karya-karya Nietzsche supaya kita tak salah tangkap dalam memahami Gaya Pemberontakan ala Nietzsche.

Sekian, bersambung.

Taman Baca Sophia, minggu 10 Maret jam 20.45 WIB