Minggu, 14 April 2013

KITA (sebuah cerpen)



Setiap pagi menjelang. Dimana sinar-sinar matahari mulai menampakkan perannya. Mata-mata mulai dibuka ke segala penjuru. Terlihatlah samar-samar memandang yang lainnya. 

Hari itu, ruangan yang penuh dengan gelas-gelas kotor, asbak yang menggunung abu dan puntung rokok tercecer kemana-mana. Di  penjuru ruangan tertempel papan tulis penuh dengan coretan, kalau saja mata Kita coba diarahkan pada papan tulis tersebut, maka terlihatlah suatu skema gerakan yang terorganisir, berbentuk segitiga. Di bagian atas tertulis presiden yang sudah ditimpah tanda silang dengan spidol warna merah. Di bawah kata presiden, deretan nama-nama tertulis, seperti yang Kita tahu dari televisi, itu nama-nama orang terdekat presiden, dekat dengan presiden ada pengawal presiden. Kita sambil mengerenyitkan dahinya, mencoba melihat secara jelas, ini skema gerakan pembunuhan presiden di istana Negara, pikirnya. Namun, yang membuat Kita merasa aneh, paling bawah dari skema itu, namanya terpampang jelas dengan huruf besar semua. KITA.

Sambil menghela nafas, Kita tak berpikir panjang tentang skema perebutan kuasa yang dilihatnya di papan tulis. Kita pergi ke dapur, mengambil sapu, pengki dan alat pembersih yang lain. Membersihkan ruangan yang kotor, hordengnya saja bau asap rokok. Kita semprotkan pewangi ruangan ke segala arah, termasuk hordengnya, biar tidak bau lagi. Sesekali terdengar majikannya mendengkur, keras sekali terasa ke lubang telinga, karena kamarnya memang tak jauh dari ruang kotor. Dengkur majikannya memang selalu menemani setiap aktivitas Kita di pagi hari.

Malam itu memang berisik sekali, ada kurang lebih 20 orang berkumpul di rumah majikannya. Mobil sampai parkir di samping jalan, kebanyakan mobilnya mewah-mewah, sebagian terlihat biasa aja berflat warna merah. Mereka masuk dengan sembunyi-sembunyi, setelah didalam bersalaman dengan majikan Kita, lalu tertawa sedikit-sedikit ditahan. Saling menyahut dalam obrolannya, berisik.
Dulu ketika masih kuliah, Kita senang sekali kumpul bersama dengan teman-temannya. Diskusi tentang bermacam-macam teori, membuat aksi di kampus sendiri menentang kebijakan birokrasi kampus, sampai akhirnya aksi hebat dijalanan melawan Negara yang korup. Sampai suatu ketika, aksi Kita berhasil menurunkan pemimpin Negara, walaupun korban berjatuhan, banyak yang luka terkena pentungan dan lemparan peluru-peluru karet aparat, bahkan sampai beberapa meninggal kena peluru keparat yang beneran. Kita merasa bahagia, karena aksinya berhasil, ada korban memang sudah hukum alam ketika perubahan ingin terwujud. Kita sendiri memang telah dikeluarkan dari kampus, karena aksi dikampusnya dulu. Namun, Kita tak peduli, tujuannya adalah Negara. Negara yang bebas dari korupsi.

Kalaupun Kita sudah dikeluarkan dari kampusnya, Kita masih berhubungan dengan teman-teman kampus. Hobinya memang membaca buku, berdiskusi, sambil sesekali menulis dan coba dikirimkan ke surat kabar, selalu ditolak alias tidak pernah dimuat di surat kabar tersebut. Tulisannya memang kasar, selalu bernada pemberontakan, sering menghina pemerintah dan menghina surat kabar itu karena selalu menolak tulisannya. Untungnya, masih ada rekan-rekan kampusnya yang bersedia memberikan ruang untuk Kita mengekspresikan gagasan-gagasannya, lewat buletin dan majalah kampus. Tentunya majalah kampus berutang banyak pada Kita, yang mewakili identitas sebagai mahasiswa, kritis dan tanpa kompromi. Yang akhirnya jadi sorotan birokrasi kampus.

Kita memang jagonya berdiskusi, terutama dalam menyampaikan teori-teori Negara. Dengan hafal betul teori tersebut, menjadikan dirinya terkenal diantara mahasiswa-mahasiswa yang lain. Kita menaruh hati pada seorang mahasiswi, Kita sempat ketemu dengan idaman hatinya di tempat dia menerangkan teori negaranya dengan jelas. Siapa juga yang tak bangga dekat dengan Kita, akhirnya mahasiswi tersebut mau jalan bareng dengan Kita dan teori-teorinya. Baru putus setelah Kita dikeluarkan dari kampusnya.
Orang tua sang pujaan hati Kita tidak setuju, tidak memberi restu. Sekalipun, Kita telah berhasil menggulingkan pemimpin Negara yang korup. Kita kecewa, tapi tak berlarut-larut. Baginya, semua termasuk pengorbanan yang harus ditanggung untuk hal yang lebih besar. Negara yang mampu memakmurkan rakyatnya, termasuk orang tua perempuan, mantan kekasihnya, yang tak mau kasih restu.

Tahun berganti tahun, 5 tahun setelah aksi heroiknya, Kita mendapat kekecewaan yang sangat. Negara yang dimimpikan tidak terwujud, bahkan semakin parah. Banyak pejabat Negara yang korupsi, dari mulai yang berkantor mewah sampai berkantor alas tanah, semua lembaga Negara hampir korupsi semua. Di bekas kampusnya, malah terang-terangan dan sesuka hati korupsinya, teman-temannya tidak berani seperti Kita. Dan yang paling terasa sakit hatinya, ketika melihat teman-teman aksinya dulu menentang Negara korup, ikut meramaikan demokrasi korupsi, mereka dengan bangga bilang setiap orang punya hak yang sama. Suatu upper cut yang telak, telah merontokkan semua giginya, gigi yang dulu dipakai untuk menerkam dan mengoyak para korup, sekarang tumpul. Anjing, babi, pelacur intelek, dasar tikus budug dan sejumlah sumpah serapah disebut secara serampangan terbata-bata untuk para koruptor, terlebih untuk teman aksinya dulu yang belakangan ternyata terlihat memimpin untuk korupsi. Sumpah serapahnya tidak membuat obat rasa sakit hatinya, rasa kecewanya yang dalam. Voting korupsi = pesta para koruptor. Babi jadah, sekali lagi gumam Kita.

Kita berlari-lari menuju kamar kontrakannya, yang memang cukup jauh dari kampusnya. Di jalan dia bertemu ibu-ibu sedang menggendong bayi, para mahasiswa-mahasiswi, anak-anak kecil yang berlarian pulang dari sekolahnya, mereka terdiam sejenak melihat Kita berlari. Kita mempercepat larinya, apa mereka tidak berpikir tentang dirinya sendiri kalau mereka jadi korban bualan para koruptor, termasuk aku sendiri, korban korupsi, pikirannya lari seperti dirinya. 

Sesampainya di depan kontrakannya, dibanting pintu kamar keras-keras, dikunci 2 kali. Sambil berjalan bolak-balik. 
Apa Aku harus aksi lagi ? 
Apa Aku harus melihat teman aksiku beramai-ramai korupsi lagi ? 
Apa Aku harus ikut korupsi juga ? Tidak…..tidak ! 
Apa artinya darah mereka yang terluka dan bahkan sampai mati ketika aksi ? 
Bagaimana perasaan para orang tua yang melihat anaknya mati ?
 sementara, di luar sana setan-setan korup seperti tidak peduli. Sekarang, 
Aku tidak lulus kuliah, bagaimana kalau Aku lulus, harus berijazah calon koruptor ? Tidak ! 
Aku tidak mau jadi koruptor. Biarkan mereka jadi koruptor, Aku tidak.
“Ya, Aku aksi sendiri, untuk diriku sendiri !”

Dari ruang perpustakaan majikanku, yang penuh dengan warna-warni buku-buku, Aku menghabiskan waktu malamku dengan hobiku, membaca dan menulis dalam buku diary. Di ruang depan, memang gaduh sekali orang berdiskusi, tentang Negara, perebutan kekuasaan, pancung para koruptor, bunuh, dan darah. Aku terdiam sejenak, menghentikan bacaanku. Gumamku sendiri di ruang perpustakaan,
“Apa nyawa A harus melayang, diganti dengan nyawa A lagi ?
Dasar ! orang-orang bodoh !
Yang haus kuasa,
Berucap kebenaran dengan lantang, tanpa bisa menghargai nyawa seorang manusia”

Tak terasa sudah ada sinar mentari masuk melewati celah-celah lubang udara di perpustakaan majikanku, hening sekali. Tak ada lagi obrolan yang memuakan gendang telinga. Aku bergegas ke ruang depan, mata-mataku tertuju bersamaan dengan masuknya sinar-sinar cerah pagi, menembus batas-batas ke segala sudut yang sempit. Semuanya terlihat kotor. 

Aku bersihkan semuanya dengan senang hati, ditemani pancaran Sang Surya, lembut mengusap punggungku yang pegal-pegal akibat semalam tidak tidur. Sampai di teras depan, terlihat mawar merah yang liar mulai merayu rindu. Aku akan petik bunga itu, dan akan Aku tancapkan pada gelungan rambut seorang mahasiswi,  tetangga majikanku, bisik hatiku mesra.

Bandung, 22 Maret 2013, 04.30 WIB.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar