Setiap
pagi menjelang. Dimana sinar-sinar matahari mulai menampakkan perannya.
Mata-mata mulai dibuka ke segala penjuru. Terlihatlah samar-samar memandang
yang lainnya.
Hari
itu, ruangan yang penuh dengan gelas-gelas kotor, asbak yang menggunung abu dan
puntung rokok tercecer kemana-mana. Di
penjuru ruangan tertempel papan tulis penuh dengan coretan, kalau saja
mata Kita coba diarahkan pada papan tulis tersebut, maka terlihatlah suatu
skema gerakan yang terorganisir, berbentuk segitiga. Di bagian atas tertulis
presiden yang sudah ditimpah tanda silang dengan spidol warna merah. Di bawah
kata presiden, deretan nama-nama tertulis, seperti yang Kita tahu dari televisi,
itu nama-nama orang terdekat presiden, dekat dengan presiden ada pengawal
presiden. Kita sambil mengerenyitkan dahinya, mencoba melihat secara jelas, ini
skema gerakan pembunuhan presiden di istana Negara, pikirnya. Namun, yang
membuat Kita merasa aneh, paling bawah dari skema itu, namanya terpampang jelas
dengan huruf besar semua. KITA.
Sambil
menghela nafas, Kita tak berpikir panjang tentang skema perebutan kuasa yang
dilihatnya di papan tulis. Kita pergi ke dapur, mengambil sapu, pengki dan alat
pembersih yang lain. Membersihkan ruangan yang kotor, hordengnya saja bau asap
rokok. Kita semprotkan pewangi ruangan ke segala arah, termasuk hordengnya,
biar tidak bau lagi. Sesekali terdengar majikannya mendengkur, keras sekali terasa
ke lubang telinga, karena kamarnya memang tak jauh dari ruang kotor. Dengkur
majikannya memang selalu menemani setiap aktivitas Kita di pagi hari.
Malam
itu memang berisik sekali, ada kurang lebih 20 orang berkumpul di rumah
majikannya. Mobil sampai parkir di samping jalan, kebanyakan mobilnya
mewah-mewah, sebagian terlihat biasa aja berflat warna merah. Mereka masuk
dengan sembunyi-sembunyi, setelah didalam bersalaman dengan majikan Kita, lalu
tertawa sedikit-sedikit ditahan. Saling menyahut dalam obrolannya, berisik.
Dulu
ketika masih kuliah, Kita senang sekali kumpul bersama dengan teman-temannya.
Diskusi tentang bermacam-macam teori, membuat aksi di kampus sendiri menentang
kebijakan birokrasi kampus, sampai akhirnya aksi hebat dijalanan melawan Negara
yang korup. Sampai suatu ketika, aksi Kita berhasil menurunkan pemimpin Negara,
walaupun korban berjatuhan, banyak yang luka terkena pentungan dan lemparan
peluru-peluru karet aparat, bahkan sampai beberapa meninggal kena peluru keparat
yang beneran. Kita merasa bahagia, karena aksinya berhasil, ada korban memang
sudah hukum alam ketika perubahan ingin terwujud. Kita sendiri memang telah
dikeluarkan dari kampus, karena aksi dikampusnya dulu. Namun, Kita tak peduli,
tujuannya adalah Negara. Negara yang bebas dari korupsi.
Kalaupun
Kita sudah dikeluarkan dari kampusnya, Kita masih berhubungan dengan
teman-teman kampus. Hobinya memang membaca buku, berdiskusi, sambil sesekali
menulis dan coba dikirimkan ke surat kabar, selalu ditolak alias tidak pernah
dimuat di surat kabar tersebut. Tulisannya memang kasar, selalu bernada
pemberontakan, sering menghina pemerintah dan menghina surat kabar itu karena
selalu menolak tulisannya. Untungnya, masih ada rekan-rekan kampusnya yang
bersedia memberikan ruang untuk Kita mengekspresikan gagasan-gagasannya, lewat
buletin dan majalah kampus. Tentunya majalah kampus berutang banyak pada Kita,
yang mewakili identitas sebagai mahasiswa, kritis dan tanpa kompromi. Yang
akhirnya jadi sorotan birokrasi kampus.
Kita
memang jagonya berdiskusi, terutama dalam menyampaikan teori-teori Negara.
Dengan hafal betul teori tersebut, menjadikan dirinya terkenal diantara
mahasiswa-mahasiswa yang lain. Kita menaruh hati pada seorang mahasiswi, Kita
sempat ketemu dengan idaman hatinya di tempat dia menerangkan teori negaranya
dengan jelas. Siapa juga yang tak bangga dekat dengan Kita, akhirnya mahasiswi
tersebut mau jalan bareng dengan Kita dan teori-teorinya. Baru putus setelah
Kita dikeluarkan dari kampusnya.
Orang
tua sang pujaan hati Kita tidak setuju, tidak memberi restu. Sekalipun, Kita
telah berhasil menggulingkan pemimpin Negara yang korup. Kita kecewa, tapi tak
berlarut-larut. Baginya, semua termasuk pengorbanan yang harus ditanggung untuk
hal yang lebih besar. Negara yang mampu memakmurkan rakyatnya, termasuk orang
tua perempuan, mantan kekasihnya, yang tak mau kasih restu.
Tahun
berganti tahun, 5 tahun setelah aksi heroiknya, Kita mendapat kekecewaan yang
sangat. Negara yang dimimpikan tidak terwujud, bahkan semakin parah. Banyak
pejabat Negara yang korupsi, dari mulai yang berkantor mewah sampai berkantor
alas tanah, semua lembaga Negara hampir korupsi semua. Di bekas kampusnya,
malah terang-terangan dan sesuka hati korupsinya, teman-temannya tidak berani
seperti Kita. Dan yang paling terasa sakit hatinya, ketika melihat teman-teman
aksinya dulu menentang Negara korup, ikut meramaikan demokrasi korupsi, mereka
dengan bangga bilang setiap orang punya hak yang sama. Suatu upper cut
yang telak, telah merontokkan semua giginya, gigi yang dulu dipakai untuk
menerkam dan mengoyak para korup, sekarang tumpul. Anjing, babi, pelacur
intelek, dasar tikus budug dan sejumlah sumpah serapah disebut secara
serampangan terbata-bata untuk para koruptor, terlebih untuk teman aksinya dulu
yang belakangan ternyata terlihat memimpin untuk korupsi. Sumpah serapahnya
tidak membuat obat rasa sakit hatinya, rasa kecewanya yang dalam. Voting
korupsi = pesta para koruptor. Babi jadah, sekali lagi gumam Kita.
Kita
berlari-lari menuju kamar kontrakannya, yang memang cukup jauh dari kampusnya.
Di jalan dia bertemu ibu-ibu sedang menggendong bayi, para mahasiswa-mahasiswi,
anak-anak kecil yang berlarian pulang dari sekolahnya, mereka terdiam sejenak
melihat Kita berlari. Kita mempercepat larinya, apa mereka tidak berpikir
tentang dirinya sendiri kalau mereka jadi korban bualan para koruptor, termasuk
aku sendiri, korban korupsi, pikirannya lari seperti dirinya.
Sesampainya
di depan kontrakannya, dibanting pintu kamar keras-keras, dikunci 2 kali.
Sambil berjalan bolak-balik.
Apa Aku harus aksi lagi ?
Apa Aku harus melihat
teman aksiku beramai-ramai korupsi lagi ?
Apa Aku harus ikut korupsi juga ?
Tidak…..tidak !
Apa artinya darah mereka yang terluka dan bahkan sampai mati
ketika aksi ?
Bagaimana perasaan para orang tua yang melihat anaknya mati ?
sementara, di luar sana setan-setan korup seperti tidak peduli. Sekarang,
Aku
tidak lulus kuliah, bagaimana kalau Aku lulus, harus berijazah calon koruptor ?
Tidak !
Aku tidak mau jadi koruptor. Biarkan mereka jadi koruptor, Aku tidak.
“Ya,
Aku aksi sendiri, untuk diriku sendiri !”
Dari ruang perpustakaan
majikanku, yang penuh dengan warna-warni buku-buku, Aku menghabiskan waktu
malamku dengan hobiku, membaca dan menulis dalam buku diary. Di ruang depan,
memang gaduh sekali orang berdiskusi, tentang Negara, perebutan kekuasaan,
pancung para koruptor, bunuh, dan darah. Aku terdiam sejenak, menghentikan
bacaanku. Gumamku sendiri di ruang perpustakaan,
“Apa
nyawa A harus melayang, diganti dengan nyawa A lagi ?
Dasar
! orang-orang bodoh !
Yang
haus kuasa,
Berucap
kebenaran dengan lantang, tanpa bisa menghargai nyawa seorang manusia”
Tak
terasa sudah ada sinar mentari masuk melewati celah-celah lubang udara di perpustakaan
majikanku, hening sekali. Tak ada lagi obrolan yang memuakan gendang telinga.
Aku bergegas ke ruang depan, mata-mataku tertuju bersamaan dengan masuknya
sinar-sinar cerah pagi, menembus batas-batas ke segala sudut yang sempit.
Semuanya terlihat kotor.
Aku bersihkan semuanya dengan senang hati, ditemani
pancaran Sang Surya, lembut mengusap punggungku yang pegal-pegal akibat semalam
tidak tidur. Sampai di teras depan, terlihat mawar merah yang liar mulai merayu
rindu. Aku akan petik bunga itu, dan akan Aku tancapkan pada gelungan rambut
seorang mahasiswi, tetangga majikanku,
bisik hatiku mesra.
Bandung,
22 Maret 2013, 04.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar