Bicara tentang Ubermensch Nietzsche
Sesi ini termasuk sesi akhir dari tema-tema
yang dibicarakan tentang Nietzsche. Kenapa harus Ubermensch? Bukankah
seharusnya tema ‘kembalinya segala sesuatu’? Jawabnya, karena ketinggalan
filenya di pertemuan sebelumnya. Memang tidak banyak orang yang hadir pada
pertemuan sebelumnya. Namun, pertemuan sesi ke-7 ini cukup banyak yang hadir.
Dan setiap orang punya pengalamannya sendiri, terkait dengan tema ‘Ubermensch’.
Saya pun demikian, ada ‘sesuatu’.
Mari kita bicarakan !
Seru Nietzsche,
Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu.
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru.
Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini.
Aku mengingatkan
kepadamu, saudara-saudaraku, tetaplah percaya pada dunia
Dan jangan percaya
pada mereka yang berbicara kepadamu
tentang
harapan-harapan di balik dunia ini.
Mereka ini adalah
pengracun, entah mereka tahu atau tidak
(Also Sprach
Zarathustra)
Seruan Nietzsche ini sebenarnya membuat aku
bingung, sebentar sambil berusaha berpikir dan mencoba memahaminya. Hahaha...ini
teguran ternyata. Kalaupun bernada anti masa depan, kurang lebih begitu.
Teguran di waktu sekarang. Yang sebenarnya, jujur, aku takut sekali
mendengarnya. Takut untuk menjalani kehidupan ini. Kehidupan yang terbayang
hanya detik ini saja, mungkin tak sempat untuk merampungkan tulisan ini.
Saya, yang sedang menjalani studi, sebagai
anak pertama dari 4 bersaudara, anak pertama pula, yang jika pulang ke rumah
berbagai tekanan hadir, harus menjadi contoh dan pegangan untuk adik-adik saya,
terutama terkait dengan perilaku dan usaha untuk memperbaiki kondisi ekonomi
keluarga. Artinya harus lebih baik dari orang tua saya sekarang, semua segi
kehidupannya. Itu memang wajar.
Dalam studi, saya tak cukup baik. Selama studi
seringkali membolos, dengan dalih bahwa materi yang disampaikan dosen kurang
menarik, terutama cara mengajar. Saya pikir tidak kuliah adalah lebih baik.
Saya bisa melampaui dari semua materi yang diberikan dosen. Namun, tak kunjung
hadir. Berbagai alasan datang begitu saja, ketika mulai meniatkan untuk belajar
lebih baik. Menghina dosen adalah hobi saya, tentunya dosen yang memang layak
dihina, yang tak ada usaha untuk memperbaiki cara mengajarnya, yang merasa
santai saja ketika ditugasi mengajar tanpa mahasiswa yang hadir dalam perkuliahannya.
Yang banyak alasan untuk tidak datang mengajar dan mengajar dengan cara itu-itu
aja. Oke, kritik selalu bisa, otokritik yang sulit. Saya akhirnya harus berada
dalam kategori dosen-dosen tersebut, pantas dihina, karena banyak alasan, dan alasan
yang terkuat adalah berharap adanya hari esok. Gila, Malas !
Berikutnya, saya yang berusaha aktif dalam
berbagai kajian dan termasuk yang mengurus didalamnya, memang tak kunjung
membaik. Yang tak habis pikir, alasan selalu saja ada. Tidak ada fasilitaslah,
tidak ada danalah, tidak ada yang membantulah....cape nulis alasan tersebut,
seribu alasan bisa ditulis. Jika ditanya anehnya bersikap percaya diri, seolah
tak ada salah, dengan mengemukakan beribu alasan tersebut, yang sebenarnya
tidak ada usaha untuk memperbaiki dan tidak pernah berbuat apa-apa. Tong kosong
nyaring bunyinya, perbahasa menyebutnya. Kok jadinya begini ya, tapi memang itu
keadaannya. Goblog...itu pasrah !
Tidak terbayang, ketika bertemu dengan orang
tua saya, dengan orang yang saya cintai, dengan dosen yang saya sukai, dengan
teman-teman yang saya banggakan, dengan orang-orang yang pernah ketemu saya,
dengan yang pernah kenal saya tanpa saya mengenalnya, dan mereka melihat saya
sekarang ini. Pastinya mereka kasihan pada saya, ketika saya bertemu mereka
masih dengan punggung yang lurus sambil berbicara agak lantang. Apalagi jika
harus berhadapan dengan diri saya. Kok masih bisa berbohong, aneh kan. Mereka
tahu yang sebenarnya, terlebih diri saya sendiri, itu bualan saya. Anjrit !
Bangga dengan kepasrahan, ketidakmampuan, dan malas itu saya pikir sumber
utama. Bahkan masalah kemanusiaan sekarang, sepertinya berawal dari malas.
Owh diriku yang
malang.
Apa kurang
keras palu Nietzsche mengetrok kepalaku
Kepalaku yang
sering merasa angkuh
Dengan ketidakmampuan
Dengan kemiskinan
Dengan kebodohan
Dengan beribu atau
bahkan jutaan alasan
Apa malas adalah
jargon hidupku ?
Tidak....tidak....Tidak....
Lalu aku harus
bagaimana ?
Memang berbicara
ubermensch tidak boleh sekaligus, kerisauan di atas memang membayangkan jika
Nietzsche datang dengan langsung dengan ubermensch. Saya memang tidak akan
kuat, bahkan jika itu ada, saya sudah membunuhnya ketika mulutnya sedang
berbicara atau bahkan memeranginya dengan penuh sadar. Kenapa ? Sangat mengganggu.
Mengusik kebohongan saya. Menelisik pada niatan-niatan hati yang dalam, yang
culas penuh kedengkian dan kesombongan dan mencoba bersandar pada esok hari,
yang jauh.Oke...
Karena itu,
memang mengkaji Nietzsche, semua tema harus dimakan semua, ungkap kang Ami.
Dimulai dari nihilisme, kehendak untuk berkuasa, ubermensch (manusia atas),
kembalinya segala sesuatu, bahkan sejarah kehidupannya sekalipun. Karena
jalinan itu semua sangat mempengaruhi sejauh mana kita memahami filsafat
pemberontakan ala Nietzsche. Dan cara ini bisa diterapkan untuk mempelajari
tokoh-tokoh yang lain.
Ada yang penting
saya ungkapkan. Yang unik kemudian, dan tidak akan ada cerita kegalauan diatas
kalau cara mengajarnya biasa aja. Kang Ami, memang memberikan porsi yang banyak
untuk para peserta yang hadir untuk berbicara tentang pengalamannya.
Mengajarkan suatu tema yang tidak jauh dengan diri sendiri, bahkan filsafat
sekalipun, yang seringkali dinilai rumit. Yang berangkat dari cerita-cerita
kehidupan yang dialami oleh peserta, bahkan dirinya sekalipun. Sehingga, apa
yang dialami oleh Nietzsche itu, sebenarnya dialami juga oleh diri sendiri.
Dalam bahasa Baba Ycon, bahwa di setiap kebudayaan, cerita itu juga ada, dengan
menghadirkan sosok Haji Hasan Mustafa (tokoh pemikir Sunda). Dan saya pun bisa
agak-agak mengerti, sesekali juga
berpikir tanpa harus mengacu blak-blakan dengan ungkapan para filusuf.
Kembali pada
ubermensch, yang menurut saya termasuk penting, terutama untuk mengatasi
kegelisahan diri sendiri. Setelah sebelumnya dalam tema nihilisme, semua bentuk pegangan
ditiadakan. Karena memang tidak menjawab akar dari segala permasalahan hidup,
dengan menangguhkan pada kehidupan yang lain atau sesuatu yang diluar diri.
Namun, Nietzsche mencoba menawarkan tentang nihilisme aktif, yang merupakan
kritik terhadap tokoh yang pernah dikaguminya, Schopenhauer.
Kehendak untuk
berkuasa, semangatnya dalam mengatasi nihilisme. Yang seringkali disalahartikan
dengan sistem kuasa yang tidak mengenal batas (totalitarianisme). Kehendak
untuk berkuasa, seperti apa dan caranya bagaimana ? yang merupakan jawab adalah
tema ubermensch selanjutnya dalam pemikiran Nietzsche. Memang tema kehendak
untuk berkuasa, terasa gampang diartikan dan dihubungkan dengan negara. Padahal
Nietzsche sendiri justru kritis terhadap negara.
Dan Nietzsche
juga mengkritik gagasan orang-orang beragama yang memancung kehendak untuk
berkuasa dengan penolakan-penolakan terhadap dunia. Dengan aturan-aturan yang
represif dan menganggap bahwa gagasan kehendak untuk berkuasa sebagai nafsu,
dan itu dosa. Sehingga akhirnya mencoba mencari-cari makna dunia sekarang ini
di dunia lain, yang akan datang, yang juga disebut akhirat.
Nah, ubermensch
sepertinya sangat penting dihadirkan oleh Nietzsche. Untuk apa ? untuk
benar-benar menerima kehidupan yang sekarang ini dijalani, ya untuk kehidupan (Ja-Sagen) timpal Nietzsche cepat. Tidak
lagi mencari-cari alasan untuk tidak menerima kondisi yang sekarang saya
hadapi, terlebih alasan agama (yang
berbicara kepadamu tentang harapan-harapan di balik dunia ini). Apakah itu
artinya Nietzsche menolak agama ? saya jawab tidak tahu, tapi semoga saja
terjawab dengan sendiri.
Kang Ami
mengingatkan akaan pentingnya kata sublimasi, termasuk dalam bahasan sekarang
ini. Saya pun kurang mengerti betul, namun saya membayangkan bahwa ubermensch
ini juga termasuk dari proses sublimasi tersebut. Dimana gagasan ubermensch ini
juga diartikan sebagai manusia yang bisa mengatasi dirinya, nafsu-nafsunya dan
kondisi fisiknya (materi). Artinya, semua yang berada dalam diri saya (manusia)
diterima dengan sepenuh hati, termasuk menerima kehidupan sekarang ini.
Seringkali kita mengalami perdebatan dalam diri, dan itulah proses sublimasi
menurut saya. Diri yang berbicara, dan akuilah itu. Tidak peduli pada
penampilan, jabatan, atau harta. Kurang lebih, nadanya seperti itu.
Akhirnya, saya
harus menghadirkan kata jujur, seperti yang kang Ami kemukakan. Memang susah
untuk berbicara jujur pada orang lain, dan sakit untuk jujur pada diri sendiri.
Semuanya tentang pengalaman saya dulu, ya itu saya bukan yang lain, titik itu
masih saja agak berat buat diamini. Saya memang punya banyak masalah dengan
pengalaman masa lalu saya, baik itu masalah dengan keluarga, dengan orang lain,
ataupun dengan sikap saya sendiri selama ini, apalagi terhadap makhluk yang
namanya wanita. Oke...kalaupun ini sudah dibahas dalam pembahasan yang
sebelumnya, sekali lagi, ya itu saya.
Sekarang,
Ubermensch sudah saya terima dari Kuliah Filsafat Pemberontakan bersama Kang
Ami ini, ubermensch sudah tidak bisa dihindari, ubermensch sudah harus ditelan
bulat-bulat (semangatnya), mau tidak mau. Saya harus hijrah akhirnya, semuanya
yang telah dilakukan selama ini adalah saya sekarang ini, saya yang sakit, yang
tumpul dalam mengatasi masalah keseharian dan berpaling pada alasan-alasan atau
dengan malas. Nada-nada dari system of A Down mendukung ke arah sana dalam
menemani tulisan ini. Ubermensch memang terlihat sesuatu yang kongkrit dan
tidak mengawang-ngawang.
Sehingga saya
harus bilang bahwa saya melihat makna Ubermensch ada dalam diri Muhammad, yang
tidak hanyut dalam lautan massanya, yang tidak kabawa sakaba-kaba dengan
realitas masyarakatnya yang amburadul. Yang berani mengatakan bahwa dirinya
bernilai, bahkan sumber nilai. Apa iya begitu ?
Apa masih mau
ditolak semangat ubermensch ini, semangat yang menngatasi nafsu-nafsu dalam
diri, dan menjadikan diri sebagai tuan daripada naluri-naluri yang datang dari
tubuh. Yang terus menyebrang (hijrah) jauh dari tarikan-tarikan kebinatangan menuju
manusia atas atau ubermensch. Apa iya Muhammad mengambil makna Ubermensch ?
Sehingga, memang
tidak ada lagi menunggu waktu untuk melakukan hijrah dan mengambil makna
ubermensch, pesanku pada diri saya sendiri. Jangan lagi berlasan terus menerus,
tidak ada yang tidak mungkin dilakukan dalam dunia ini. Tidak lagi seharusnya,
karena semangat ubermensch adalah semangat ‘aku ingin’. Kalaupun Dostoevsky
pernah berucap, ‘jika tidak ada Tuhan maka semuanya boleh dilakukan’, tapi
apakah salah jika Tuhan dihadirkan tetapi tetap semuanya boleh dilakukan dan
berkata aku ingin?
Ajaran Nietzsche
seperti yang diungkap dalam Also Spach Zarathustranya dengan tokohnya
Zarathustra, adalah tentang ubermensch dan kabar bahwa Tuhan telah mati. Ajaran
yang harus dipahami keduanya. Menafikan dan membunuh tuhan-tuhan yang
mengkerangkeng manusia dengan kehidupannya. Serta mengajarkan tugas suci
manusia yang harus mampu mengatasi diri manusia sendiri yang cenderung bersifat
destruktif dan memainkan alasan tuhan-tuhan yang dikerdilkan atas nama nafsu
kebinatangannya.
Ubermensch
bukanlah sebagai final, tapi suatu usaha yang terus menerus berperang dan
selalu dalam kondisi berperang yang selalu diliputi oleh semangat kehendak
berkuasa, yang merumuskan aturan dan
nilai dengan dirinya sendiri, yang tidak berpaling dari dunia (dunia yang
dijalani). Ubermensch adalah makna dunia ini, sekali lagi kata Nietzsche. Makna
yang mengarahkan manusia pada suatu kemungkinan maksimal dalam mengelaborasi
potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Aku ingin...kamu ingin...lebih berani
menghadapi hidup, bukan dengan kepasrahan.
Sambil
mengingat-ingat, apakah Nietzsche yang pertama kali mengungkap ubermensch
daripada Muhammad?
Apakah Nietzsche yang pertama kali membunuh Tuhan daripada
Muhammad ?
Apa Muhammad tidak menjauhi sifat kebinatangan seperti isi ilham
dari ubermensch ?
Semoga tulisan
ini benar-benar mendapat manfaat dari ilham ubermensch, buat saya sendiri.
Entah kenapa saya jadi teringat Muhammad, yang memang merupakan suatu niatan
baik orang tua saya ketika mencantumkan nama muhammad dalam nama saya. Saya
ingat Muhammad karena nama saya, bukan karena sosoknya yang membuat saya malu.
Akhirnya, Puji
Tuhan. Alhamdulillah ! Pengetahuan yang menyenangkan.
Hatur tengkyu,
buat kang Ami yang selama ini sudah bersedia meluangkan waktunya menjadi
fasilitator Kelas Filsafat Pemberontakan selama ini. Terutama tentang sesi
Ubermensch, yang saya kira, merupakan titik balik untuk semua para peserta
dalam memaknai hidupnya, khususnya bagi saya sendiri.
Sekali lagi, Puji Tuhan !
Bandung, 4 April
2013, 10.30 wib.
keren..!
BalasHapus