Minggu, 31 Maret 2013

Ulasan tentang buku “Tinggalkan Sekolah Sebelum Terlambat” karya James Marcus Bach

Mbah Modjo

Saya ingin sekali menulis tentang feeling saya setelah membaca buku ini, tamat 1 kali. Kenapa ? Karena takut terlarut lagi dalam rutinitas lain dan tidak sempat menulis. Tadinya rencana menulis setelah menamatkan 2 kali membaca, sepertinya tidak. Karena setelah 2 kali, saya ingin segera menyarankan membaca pada beberapa teman atau saudara saya, terutama adik saya, yang kini sedang asyik menyusun tugas akhir di salah satu kampus teknik di Bandung. Sepertinya, dia akan lebih menghayati buku ini, karena penulis buku ini juga tidak jauh latar belakangnya dengan adik saya.
Sebelum terlalu jauh, saya ingin berterima kasih pada teman saya, modjo. Dia yang member buku ini pada saya dengan penuh pengorbanan, rela dipotong gaji untuk menukarnya dengan buku ini. Minatnya dalam dunia music (vokalis group music Kopi Bahe), tidak melupakan perannya yang lain, seperti dalam penghayatan atas lirik-lirik lagunya, perjuangan untuk menjadi manusia.
Sebagai seorang teman, dia memang pantas disebut teman, bahkan lebih dari itu. Memberi sesuatu yang berarti buat temannya, tidak sekedar berbagi kopi dan rokok. Inspirasi untuk menjadi subjek, yang memaksimalkan segala potensi dalam diri tanpa lupa untuk tetap peduli terhadap sesamanya. Saya iri belum bisa berbuat demikian, saya lebih asyik dengan dunia saya sendiri, yang terkadang lupa pada sesama.
Belajarlah ala bajak laut ! buku ini membuat semacam pernyataan, sikap bagi siapa saja yang mempunyai keberanian. Bajak laut, bisa diimanjinasikan, seorang yang berani berlayar ke laut, samudera yang luas terbentang, tidak takut dengan terpaan ombak dan badai, melepas layar dan mencoba mendekati mimpi, selalu beradaptasi dengan segala bentuk cuaca. Ya, bajak laut memang pengembara. Yang mencari pengalaman dari satu pulau ke pulau yang lain, tidak terikat. Namun, bukan dalam arti lepas dari tanggung jawab dari apa yang menjadi keinginannya. Konsekuensi dari sikapnya, diterima dengan sepenuh hati.
James Marcus Bach, penulis buku ini, berusaha memakanai pendidikan bagi dirinya seprti layaknya si petualang bajak laut. Penghayatannya begitu dia rasakan dengan sikapnya kemudian. Coba kita lihat beberapa pesan yang dia sampaikan,
“Pendidikan memang penting. Sekolah tidak penting. Saya tidak membutuhkan sekolah.
 Begitu juga kalian.
Saya belajar, tapi saya tidak sekolah.
Sekolah hanya sementara. Pendidikan tidak. Jika kalian ingin berhasil dalam hidup; temukan sesuatu yang membuat kalian takjub dan pelajarilah. Jangan menunggu sampai seseorang mengajari kalian; semangat kalian yang berkobar-kobar akan menarik guru-guru untuk datang pada kalian. Jangan mencemaskan tentang diploma atau gelar; berusahalah agar menjadi sangat baik sehingga tidak ada yang bisa menolak kalian.”
Saya hanya kutip beberapa saja dari pesannya, yang saya anggap penting. Penting untuk saya kasih komentar dan penting untuk saya sendiri.
Sekolah memberikan materi pelajaran kurang lebih sekitar 6 jam, kalaupun ada juga yang sampai 9 jam, biasanya diselingi dengan beberapa menit untuk istirahat. Jika merasa belum bisa dan kurang waktu belajarnya, siswa mencarinya di tempat kursus. Biayanya lebih dari biaya sekolah, dan itu hanya bisa dilakukan oleh siswa yang mempunyai orang tua yang kaya. Namun, dari rumitnya hal-ihwal tentang pendidikan kita, pertanyaan dasarnya, apa itu yang disebut dengan pendidikan ? Apa cukup dengan memberikan kata gratis sekolah dari SD sampai SMP, atau bahkan sampai Perguruan Tinggi (PT) ? Saya mengendus lingkaran kemiskinan tanggung jawab dalam dunia pendidikan kita sekarang.
Apalagi dikampus saya, ketika institusi pendidikan sudah berjabat erat dengan politik. Bungkam ! lebih baik cari aman (lulus, naik pangkat, beasiswa, dan sebagainya). Kurangnya penghargaan terhadap orang-orang yang berilmu dan berprestasi, yang nurut-matutlah yang dihargai. Sialnya, itu dianggap wajar dan harus dijaga kelangsungan budaya tersebut (status quo). Pendidikan sudah mulai salah arah, jauh untuk semangatnya membebaskan manusia, membuat manusia merdeka. Singaktnya, Manusia No, meri Yes. Sepertinya begitu yang saya lihat.
Sempat frustasi. Tapi buku ini membuat suatu rasa optimis lagi. Belajar seperti bajak laut terlihat sebagai daya juang untuk terus belajar, mengasah kemampuan diri. Membaca, menulis, berdiskusi tanpa harus dibatasi oleh ruang kelas sekolah atau kampus. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana sikap orang-orang yang berada di negara-negara maju tentang belajar ? Belajar ala bajak laut, memberikan kebebasan untuk memilih dalam cara kerjanya, mau sampai sejauh manakah diri kita ? diri sendiri yang menjawab itu.
Mimesis (peniruan) dalam episteme Filusuf Plato, bisa diartikan sebagai rasa takjub. Konon katanya, orang-orang dulu membuat pesawat terbang karena melihat seekor capung yang terbang, manusia mengembangkannya sampai bentuk pesawat sekarang ini. rasa takjub merupakan modal penting dalam belajar, awalnya adalah mengamati. Dari mengamati timbul rasa penasaran, dicarinya segala hubungan yang terkait dengan apa yang diamati tersebut.
Buku ini merupakan gambaran penulis dalam mendidik dirinya sendiri. Penulis mengemukakan metodenya sebagai seorang bajak laut yang tidak kenal lelah menempuh diri untuk apa yang diinginkannya. Saya jadi teringat ungkapan filusuf lainnya, ketika membayangkan tentang bajak laut, pulau, perahu dan laut,
“Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal ! Kita sudah membakar jembatan dibelakang kita…dan lagi, kita juga sudah menghanguskan daratan di belakang kita ! Dan kini, hati-hatilah, kau kapal mungil ! Samudera raya mengelilingimu; memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang dia tampak lembut bagaikan sutera, emas, dan mimpi yang indah. Namun akan tiba waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia itu tidak terbatas. Oh. Burung-burung yang malang yang merasa bebas dan kini menabrak dinding-dinding sarangnya ! Ya, bila kau merasa rindu akan daratanmu yang seolah menawarkan kebebasan lebih banyak…dan tak ada daratan lagi.”
Tak ada kepastian lagi selain diri kita sendiri. Belajar dengan semangat yang berkobar-kobar, seperti tawaran yang diajukan oleh nurani yang ingin bebas, yang ingin merdeka, yang ingin tak jadi meri, yang ingin menjadi manusia.
Dengan metode bajak laut, bukan artinya harus menjadi bajak laut sungguhan. Pencarian yang tak kenal henti untuk menempuh hidup, serta pengalaman yang menemu petanya sendiri untuk menghadapi segala berbagai bentuk kemungkinan dalam hidup. Lagi-lagi sentilan filusuf mengingatkan saya,
“Percayalah padaku; rahasia memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup dengan bahaya ! Dirikanlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius, kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan ! Hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri.”
Saya jadi teringat ketika dalam sebuah malam yang terlihat kurang ramah terhadap tubuh, hujan disertai angin yang mendesak mencari-cari sesuatu yang bisa diselimutkan. Teriak langit dibarengi dengan kilatan-kilatan cahaya membuat semakin terasa mencekam. Benar, apa yang disampaikan oleh guruku, bahwa alam semakin tak menentu, mulai menampilkan sisi buasnya. Mempertanyakan eksistensi dari makhluk yang bernama manusia. Yang kini sedang berada dalam buaian rasa aman, yang takut berlayar, takut dalm memilih.
Senang sekali bisa membaca buku ini, thanks ya modjo.

1 komentar:

  1. Sudah beberapa bulan lalu dikabari tentang buku ini oleh teman. Menarik... Semoga segera kesampaian
    Perlu digiatkan pembangunan kelompok2/organisasi2 yang berani membentuk pendidikan yang benar-benar mendidik.

    Tempat saya mengajar, sebelum berhenti, begitulah mimpi para pengelolanya, dan lembaga itu sudah terus berkembang. Sayangnya, masih ada kekeliruan dalam penerapan impiannya. Semoga terus maju menjadi lembaga pendidikan yang semestinya

    BalasHapus