Mbah Modjo |
Saya
ingin sekali menulis tentang feeling saya setelah membaca buku ini, tamat 1
kali. Kenapa ? Karena takut terlarut lagi dalam rutinitas lain dan tidak sempat
menulis. Tadinya rencana menulis setelah menamatkan 2 kali membaca, sepertinya
tidak. Karena setelah 2 kali, saya ingin segera menyarankan membaca pada
beberapa teman atau saudara saya, terutama adik saya, yang kini sedang asyik
menyusun tugas akhir di salah satu kampus teknik di Bandung. Sepertinya, dia
akan lebih menghayati buku ini, karena penulis buku ini juga tidak jauh latar
belakangnya dengan adik saya.
Sebelum
terlalu jauh, saya ingin berterima kasih pada teman saya, modjo. Dia yang
member buku ini pada saya dengan penuh pengorbanan, rela dipotong gaji untuk
menukarnya dengan buku ini. Minatnya dalam dunia music (vokalis group music
Kopi Bahe), tidak melupakan perannya yang lain, seperti dalam penghayatan atas
lirik-lirik lagunya, perjuangan untuk menjadi manusia.
Sebagai
seorang teman, dia memang pantas disebut teman, bahkan lebih dari itu. Memberi
sesuatu yang berarti buat temannya, tidak sekedar berbagi kopi dan rokok.
Inspirasi untuk menjadi subjek, yang memaksimalkan segala potensi dalam diri
tanpa lupa untuk tetap peduli terhadap sesamanya. Saya iri belum bisa berbuat
demikian, saya lebih asyik dengan dunia saya sendiri, yang terkadang lupa pada
sesama.
Belajarlah
ala bajak laut ! buku ini membuat semacam pernyataan, sikap bagi siapa saja
yang mempunyai keberanian. Bajak laut, bisa diimanjinasikan, seorang yang
berani berlayar ke laut, samudera yang luas terbentang, tidak takut dengan
terpaan ombak dan badai, melepas layar dan mencoba mendekati mimpi, selalu
beradaptasi dengan segala bentuk cuaca. Ya, bajak laut memang pengembara. Yang
mencari pengalaman dari satu pulau ke pulau yang lain, tidak terikat. Namun,
bukan dalam arti lepas dari tanggung jawab dari apa yang menjadi keinginannya.
Konsekuensi dari sikapnya, diterima dengan sepenuh hati.
James
Marcus Bach, penulis buku ini, berusaha memakanai pendidikan bagi dirinya
seprti layaknya si petualang bajak laut. Penghayatannya begitu dia rasakan
dengan sikapnya kemudian. Coba kita lihat beberapa pesan yang dia sampaikan,
“Pendidikan memang penting.
Sekolah tidak penting. Saya tidak membutuhkan sekolah.
Begitu juga kalian.
Saya belajar, tapi saya tidak
sekolah.
Sekolah hanya sementara.
Pendidikan tidak. Jika kalian ingin berhasil dalam hidup; temukan sesuatu yang
membuat kalian takjub dan pelajarilah. Jangan menunggu sampai seseorang
mengajari kalian; semangat kalian yang berkobar-kobar akan menarik guru-guru
untuk datang pada kalian. Jangan mencemaskan tentang diploma atau gelar;
berusahalah agar menjadi sangat baik sehingga tidak ada yang bisa menolak
kalian.”
Saya
hanya kutip beberapa saja dari pesannya, yang saya anggap penting. Penting untuk
saya kasih komentar dan penting untuk saya sendiri.
Sekolah
memberikan materi pelajaran kurang lebih sekitar 6 jam, kalaupun ada juga yang
sampai 9 jam, biasanya diselingi dengan beberapa menit untuk istirahat. Jika
merasa belum bisa dan kurang waktu belajarnya, siswa mencarinya di tempat
kursus. Biayanya lebih dari biaya sekolah, dan itu hanya bisa dilakukan oleh
siswa yang mempunyai orang tua yang kaya. Namun, dari rumitnya hal-ihwal
tentang pendidikan kita, pertanyaan dasarnya, apa itu yang disebut dengan
pendidikan ? Apa cukup dengan memberikan kata gratis sekolah dari SD sampai
SMP, atau bahkan sampai Perguruan Tinggi (PT) ? Saya mengendus lingkaran
kemiskinan tanggung jawab dalam dunia pendidikan kita sekarang.
Apalagi
dikampus saya, ketika institusi pendidikan sudah berjabat erat dengan politik.
Bungkam ! lebih baik cari aman (lulus, naik pangkat, beasiswa, dan sebagainya).
Kurangnya penghargaan terhadap orang-orang yang berilmu dan berprestasi, yang
nurut-matutlah yang dihargai. Sialnya, itu dianggap wajar dan harus dijaga
kelangsungan budaya tersebut (status quo). Pendidikan sudah mulai salah arah,
jauh untuk semangatnya membebaskan manusia, membuat manusia merdeka. Singaktnya,
Manusia No, meri Yes. Sepertinya begitu yang saya lihat.
Sempat
frustasi. Tapi buku ini membuat suatu rasa optimis lagi. Belajar seperti bajak
laut terlihat sebagai daya juang untuk terus belajar, mengasah kemampuan diri.
Membaca, menulis, berdiskusi tanpa harus dibatasi oleh ruang kelas sekolah atau
kampus. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat bagaimana sikap orang-orang
yang berada di negara-negara maju tentang belajar ? Belajar ala bajak laut,
memberikan kebebasan untuk memilih dalam cara kerjanya, mau sampai sejauh
manakah diri kita ? diri sendiri yang menjawab itu.
Mimesis
(peniruan) dalam episteme Filusuf Plato, bisa diartikan sebagai rasa takjub.
Konon katanya, orang-orang dulu membuat pesawat terbang karena melihat seekor
capung yang terbang, manusia mengembangkannya sampai bentuk pesawat sekarang
ini. rasa takjub merupakan modal penting dalam belajar, awalnya adalah
mengamati. Dari mengamati timbul rasa penasaran, dicarinya segala hubungan yang
terkait dengan apa yang diamati tersebut.
Buku
ini merupakan gambaran penulis dalam mendidik dirinya sendiri. Penulis mengemukakan
metodenya sebagai seorang bajak laut yang tidak kenal lelah menempuh diri untuk
apa yang diinginkannya. Saya jadi teringat ungkapan filusuf lainnya, ketika
membayangkan tentang bajak laut, pulau, perahu dan laut,
“Kita
telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal ! Kita sudah membakar
jembatan dibelakang kita…dan lagi, kita juga sudah menghanguskan daratan di
belakang kita ! Dan kini, hati-hatilah, kau kapal mungil ! Samudera raya
mengelilingimu; memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang
dia tampak lembut bagaikan sutera, emas, dan mimpi yang indah. Namun akan tiba
waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia itu tidak terbatas. Oh. Burung-burung
yang malang yang merasa bebas dan kini menabrak dinding-dinding sarangnya ! Ya,
bila kau merasa rindu akan daratanmu yang seolah menawarkan kebebasan lebih
banyak…dan tak ada daratan lagi.”
Tak
ada kepastian lagi selain diri kita sendiri. Belajar dengan semangat yang
berkobar-kobar, seperti tawaran yang diajukan oleh nurani yang ingin bebas,
yang ingin merdeka, yang ingin tak jadi meri, yang ingin menjadi manusia.
Dengan
metode bajak laut, bukan artinya harus menjadi bajak laut sungguhan. Pencarian
yang tak kenal henti untuk menempuh hidup, serta pengalaman yang menemu petanya
sendiri untuk menghadapi segala berbagai bentuk kemungkinan dalam hidup.
Lagi-lagi sentilan filusuf mengingatkan saya,
“Percayalah
padaku; rahasia memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia
adalah hidup dengan bahaya ! Dirikanlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius,
kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan ! Hiduplah dalam
perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri.”
Saya
jadi teringat ketika dalam sebuah malam yang terlihat kurang ramah terhadap
tubuh, hujan disertai angin yang mendesak mencari-cari sesuatu yang bisa
diselimutkan. Teriak langit dibarengi dengan kilatan-kilatan cahaya membuat
semakin terasa mencekam. Benar, apa yang disampaikan oleh guruku, bahwa alam
semakin tak menentu, mulai menampilkan sisi buasnya. Mempertanyakan eksistensi
dari makhluk yang bernama manusia. Yang kini sedang berada dalam buaian rasa
aman, yang takut berlayar, takut dalm memilih.
Senang
sekali bisa membaca buku ini, thanks ya modjo.
Sudah beberapa bulan lalu dikabari tentang buku ini oleh teman. Menarik... Semoga segera kesampaian
BalasHapusPerlu digiatkan pembangunan kelompok2/organisasi2 yang berani membentuk pendidikan yang benar-benar mendidik.
Tempat saya mengajar, sebelum berhenti, begitulah mimpi para pengelolanya, dan lembaga itu sudah terus berkembang. Sayangnya, masih ada kekeliruan dalam penerapan impiannya. Semoga terus maju menjadi lembaga pendidikan yang semestinya