Minggu, 10 Maret 2013

Catatan Kuliah Filsafat Pemberontakan Friedrich Nietzsche sesi III


Maaf kalau saja tulisan ini telat datangnya, dikarenakan sibuk dengan ketidakrutinan dalam seminggu ini. Tidak bisa diprediksikan apa yang sudah digagas, beberapa buku memikat perhatian, membuat lahirnya catatan ini mungkin menjadi kabur isinya dengan yang diobrolkan ketika kuliah. Aku tak minta maaf pada yang lain, diriku yang berhak menerima maaf itu. Tapi aku bilang juga pada diriku, kalau aku sudah puaskan hasrat tahu yang selama ini terkubur dalam kemewahan dan tawaan semu.

Nihilisme, suatu paham yang dilontarkan oleh Filusuf yang sedang dibahas bersama rekan-rekan Sophia. Semuanya bicara dalam diskusi tentang Nihilisme Nietzsche, karena mungkin apa yang diramalkan oleh Nietzsche sedang terjadi dalam kehidupan kita sekarang ini. Dalam aforisme nya dia mengatakan:
“What I relate is the history of the next two centuries. I describe what coming, what can no longer come differently: the advent of nihilism. This History can be related even now in hundred signs, this destiny announces itself everywhere; for this music of the future all ears are cocked even now…”
- The Will to Power F. Nietzsche –

Seolah seperti ahli nujum di saat sekarang, bahkan Nihilisme itu sudah terjadi pada saat Nietzsche menyumpahnya, ungkap Kang Ami. Semuanya tertegun diam beberapa saat, mungkin masih ada yang belum dimengerti. Sebenarnya untuk memahami Nihilisme ala Nietzsche memang harus sudah bisa mengikuti gaya berfilsafat orang-orang Modern, abad yang diwarnai beberapa aliran filsafat, rasionalisme, empirisme, kritisisme, romantisme, idealisme, materialism, positivism dan itupun cukup pelik(rigorus), membutuhkan kesinambungan dalam mengamatinya. Namun kang Ami membawakan Nihilisme ini dalam cara yang sederhana, ruang keseharian kita menjadi medan dimana Nihilisme itu mencolek perhatian kita. Lalu apa sih Nihilisme itu?

Nihilisme dalam arti singkat, ialah runtuhnya nilai-nilai yang diyakini manusia dalam perjalanan hidupnya. Manusia tak tahu lagi untuk apa tujuan dirinya hidup. ‘untuk apa?’, pertanyaan mendasar untuk mengantarkan kita pada persoalan yang mau kita bicarakan, lebih jelasnya jembatan menuju Nihilisme. Ayo untuk apa?

Jawaban yang sering dan akan kita temukan dalam kehidupan kita di tengah mayoritas orang beragama, nilai itu adalah agama. Agama yang melingkupi semua bentuk rutinitas keseharian kita hidup. Agama adalah segalanya. Nietzsche mengungkap dalam aforismanya,
“Masa depan dari  nihilisme sudah berbicara pada saat sekarang ini dengan ratusan tanda-tanda; tanda-tanda akan datangnya nihilisme ini mencuat di mana-mana.“

Tanda-tanda, Nietzsche mengungkapnya dalam penuh tanda tanya. Kita bertanya, apa tanda-tanda tersebut. Kehidupan beragama yang kita alami sekarang ini, itu tanda-tandanya. Baikalh kita akan mengelak, bahwa itu orangnya yang membuat agama menjadi rusak. Bagi Nietzsche apapun alasannya, itulah yang terjadi. Nietzsche hanya berucap dengan tanda-tandanya, nilai agama menjadi runtuh seketika. Agama diperkosa bersama-sama. Moralitas menjerit dimana-mana sambil memakan korban. Nietzsche akhirnya harus bicara,
”Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya.”
terdapat dalam bukunya yang berjudul Die Fröhliche Wissenschaft yang ditulisnya saat di Genoa (1880).

Keadaan Nihilisme merupakan kondisi yang normal, kondisi yang pasti tejadi. Kenapa demikian? Karena menurut Nietzsche, tak lain karena dengan cara berpikir kita yang meminta jaminan kepastian dari sesuatu yang datang dari luar dirinya, agama misalnya, atau tuhan. tuhan seperti apa yang dilihat Nietzsche dan membuat manusia begitu impoten dalam hidupnya? Sekalipun manusia telah membunuh tuhannya, dengan otomatis dia akan mencai tuhan-tuhan lainnya atau menciptakan tuhan yang baru, tuhan dipandang sebagai penjamin kehidupan. Apakah demikian adanya?

Dalam kondisi demikian, dimana tidak ada lagi nilai yang dipegang, nilai yang diyakini (kalaupun meyakini kita larut dalam proses penyiksaan tehadap nilai-nilai itu secara bersama-sama), maka seharusnya segera mawas diri. Inilah yang saya ungkap sebagai fase krisis eksistensi manusia dalam hidupnya. Semuanya terlihat memuakan, sekaligus menggelikan. Memuakan melihat sekeliling kita yang merasa seolah tidak terjadi apa-apa. Menggelikan karena melihat diri yang hanyut dalam arus penghancuran nilai-nilai. Semuanya terlihat tak bermakna.

Karena itu ungkap Kang Ami sambil menatap semua peserta, kalau sudah melihat semua itu dan merasakan khawatir terhadap diri, khawatir menjadi manusia yang sakaba-kaba ikut arus dalam hidup yang nihil dan tak bermakna ini, kita mau berbuat apa?

Nietzsche lalu menawarkan apa yang disebut dengan transvaluasi nilai. Artinya diri sendiri yang menciptakan nilai bagi dirinya. Nilai yang tidak bersandar pada keabsolutisan pada suatu hal. Kebenaran dipahami sejauh memberikan daya tawar pada diri untuk menjadikan diri ini lebih kreatif. Kreatif dalam semangat meneruskan kehidupan di tengah dunia yang khaos dan absurd, dengan nilai yang diciptakan tersebut kita mampu beriringan dengan realitas tanpa harus terbawa arus.

Memang ada kesulitan untuk memunculkan nilai tersebut, karena masih enggan untuk mengambil identitas yang berbeda. Apalagi jika disangkutpautkan dengan Negara, hubungan orang per orang memang terlihat konformistis. Karena itu tak aneh jika Nietzsche dan para Nietzschean lebih banyak mengahabiskan waktunya dalam kesendirian, tak banyak bertemu dan berbicara dengan banyak orang, namun suaranya jelas nyaring terdengar dalam abad sekarang. Abad kita hidup. Abad yag diramalkan Nietzsche dan abad yang dialaminya.

Selanjutnya, untuk bahasan lebih mendalam tentang kritik Nietzsche terhadap orang beragama dan cara pandang Nietzsche terhadap nilai-nilai agama, akan dibahas besok dalam waktu seperti biasanya. Karena itu, perbanyaklah waktu membaca karya-karya Nietzsche supaya kita tak salah tangkap dalam memahami Gaya Pemberontakan ala Nietzsche.

Sekian, bersambung.

Taman Baca Sophia, minggu 10 Maret jam 20.45 WIB







Tidak ada komentar:

Posting Komentar