Minggu, 14 April 2013

Seni Menelanjangi Diri



I
Dalam suatu obrolan dengan rekan-rekan di kelompok studi Sophia di Bandung, saya disuguhkan istilah seni menelanjangi diri. Istilah yang pada awalnya dipahami sebagai bertelanjang tanpa pakaian, secara bersama-sama, dengan malu-malu awalnya lalu tertawa bersama-sama. Melewati batas malu dan kemaluan, menyuguhkan setiap lekuk tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yang bagian hitam terlihat jelas bagian hitamnya, yang bagian putih terlihat jelas putihnya. Dan akhirnya berkata, kamu begitu rupanya, kamu begitu itunya, kamu begitu anunya, saya begini dan begitu juga. Hitam putih sama-sama penuh nafsu dan gairah. Kamu dan saya sama-sama telanjang. Sama-sama manusia.
 
Dalam ungkapan nonverbal tersebut, menelanjangi diri bisa diartikan untuk mengetahui kondisi asli setiap individu-individu yang ada. Melepas setiap bentuk identitas yang diberikan oleh orang lain dalam relasi sosialnya, dan menghilangkan segala bentuk pengkategorian yang melekat pada diri. Mencari dan melihat sesuatu yang unik pada tubuh masing-masing. Terpampang jelas dari tubuhnya saja, yang disebut tubuh subjektif.

Lalu, apa yang disebut dengan tubuh subjektif tersebut ? Maksudnya, dari gambaran tubuh saja, kita sudah melihat perbedaan seseorang dengan yang lainnya, ini bisa juga diartikan sebagai bakat. Setiap subjek berhak mengekspresikan tubuhnya masing-masing, yang lainnya menonton dan memahami. Oh ya, memang dia, tubuh yang subjektif.
Subjek dalam arti, melihat kepada tubuhnya dan berdialog dengan tubuh-tubuh yang lain tanpa harus meniru tubuh yang lain. Artinya, dilampauinya dunia luarnya dengan terus menegmbangkan sisi subjektifnya. 

Dengan cara bagaimana kita mengembangkan sisi subjektif tersebut ? Dengan terus mengeksplorasi bagian-bagian tubuh, lewat pengetahuan dan berlatih keras menggerakan tubuhnya. Rasa penasaran merupakan modal penting untuk terus mencari sejauh mana individu mengetahui dan mempopulerkan tubuhnya.

Bisa kita bayangkan para penari yang menari di pusat kota budaya semacam Paris di Perancis. Tentunya tidak sembarang penari bisa tampil menari di kota itu. Atau di kota Moskow, Rusia, yang terkenal dengan tari baletnya yang khas dan gedung pertunjukannya yang eksotis, idaman para pekerja seni untuk bisa menunjukan kebolehannya. Di beberapa kota di Negara kita juga mempunyai tempat yang seperti itu, sebut saja Taman Ismail Marzuki, Keraton Yogyakarta, Rumentang Siang Bandung, Kesepuhan Cirebon, Bali dan sebagainya. Karena memang Negara kita terkenal dengan budaya dan keseniannya. 

Dalam beberapa pertunjukan di kota tersebut, para pekerja seni tidak kenal lelah berlatih, membaca, mengeluarkan seluruh kemampuan subjektifnya yang unik. Gairah mengembangkan dan mengeksplorasi inilah yang akhirnya kita bisa melihat sejauh mana tubuh subjektifnya bekerja, termasuk tubuh subjektif yang ada dalam diri masing-masing. Ada yang biasa, ada yang unik dan membuat kagum.

Dalam dunia kesusasteraan misalnya, kita bisa melihat Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kelahiran Blora. Dia mampu meresapi tubuh subjektifnya dalam karya-karyanya. Jalinan antara biografi kehidupan, realitas diluarnya, dan hasil bacaannya, dia ceritakan dengan khas sisi tubuh subjektifnya. Penghayatan terhadap profesinya demikian kuat. Tidak aneh kalau karya sastranya diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing. 

II

Selain dalam bahasa nonverbal, seni menelanjangi diri juga bisa disalurkan dalam bahasa verbal. Biasanya dilakukan dalam suatu kelompok yang ingin mengenal jauh setiap individu-individunya, termasuk di Sophia. Dalam obrolan yang tidak disengaja dan santai pula, setiap individu mengungkapkan apa yang dialami dan dihayati dalam hidupnya. Khususnya peristiwa-peristiwa yang member kesan dan mempengaruhi cara pikir dan lakunya kemudian. Ada yang bercerita, ada yang mendengar.

Awalnya terasa berat, tapi karena semuanya bercerita menjadi ramai dan saling memahami. Waktu seharian tidak cukup, apalagi kalau banyak orang. Menelanjangi dalam bahasa verbal ini bermaksud untuk menghargai suara-suara subjektif yang keluar dari dalam hatinya. Suara yang biasanya tertutup oleh rasa gengsi, malu, takut, yang akhirnya menjadi masalah di kemudian hari, sakit.

Dengan gaya verbal ini, juga dipahami sebagai merenung, jeda dalam rutinitas keseharian, mencoba mengenal diri sendiri, sang ‘aku’. Tetapi, adakalanya terasa sulit untuk melihat diri sendiri jika sendirian. Kenapa ? Karena subjek, sang ‘aku’, selalu tertaut pada yang lain dalam cara relasinya, dalam kesadarannya. Baik dalam pikirannya, atupun perbuatannya. Sekalipun dengan cara pandang demikian (subjek-objek), susah sekali untuk meluangkan waktu memikirkan sang ‘aku’, subjeknya, diri sendiri. Mentalitas modern yang demikianlah, akhirnya membuat mencerabut sisi subjektif manusia, dan menjadi penyakit di masa sekarang ini.

Dengan cara dialog seni menelanjangi diri ini ditampilkan, setiap orang berposisi sebagai subjek. Subjek yang bercerita, subjek yang mendengar. Tidak ada penghakiman etis atas sikap seorang subjek. Biarlah dirinya sendiri yang menilai ke’aku’annya. Biasanya diselingi banyolan dari yang mendengar. Emosi lebih dimainkan daripada rasio dalam seni ini. 

Hal lain dalam seni ini, juga menunjukan relasi pengetahuan dengan kehidupan keseharian manusia. Pengalaman menjadi kata kuncinya. Bagi yang bercerita, subjek menunjukan pengalaman berikut cara mengatasi hidupnya. Bagi yang mendengar, mencoba menghayati pengalaman yang bercerita serta membandingkan dengan pengalaman hidupnya sendiri. Sehingga pengetahuan dan kehidupan nyata si subjek lebih kompleks dan tidak terjebak pada egogisme dan tuturut munding dalam peribahasa sunda. Subjek berusaha memahami hiudpnya dan dirinya berhak memunculkan ciri khasnya.

III

Pada akhirnya, seni menelanjangi diri dalam gaya nonverbal dan verbalnya ingin berusaha menghadirkan sisi subjektif manusia dalam relasi dengan dunia luarnya. Karena tidak ada manusia yang diciptakan dengan sia-sia. 

Melepaskan dulu segala identitas sosial yang semu, sejenak berpaling pada identitas diri, merumuskan diri sendiri, tubuh subjektif, sang ‘aku’, subjek. Sejauh dengan kehidupannya selama ini, eksistensi ‘aku’ dipertanyakan kembali. Terkait dengan perannya menjadi manusia. Sudah berapa jauh tubuh subjektifnya mendayagunakan potensinya, adakah usaha tersebut ?

Menelanjangi diri hanya selesai dengan kematian yang penuh dengan percaya diri. Semangatnya untuk menunjukan diri yang otentik, tidak tergerus oleh irama-irama musik dari luar. Tubuh subjektifnyalah yang membuat nadanya sendiri dengan gaya yang khas dirinya.
Ternyata seni ini hanya bisa dilakukan pada subjek yang mau mengerti tentang sisi terdalam dalam dirinya. Yang bisa menempatkan manusia lainnya sebagai subjek dan menghormatinya, seperti menghormati dirinya sendiri.

Menelanjangi diri juga sadar akan awal yang telanjang dan akhir yang telanjang pula. Pada kondisi tersebut, tak ada yang melekat selain ke’aku’annya. Tubuh yang telanjang, yang terus berusaha mengarungi dunia dengan cirinya yang khas. Dan akhirnya, bertemu dengan SANG SUBJEK yang khas pula disertai canda dan senyumanNya, bukan subjek tiruan yang murah harganya.

Taman Baca Sophia, 21 Maret 2013, 04.19 WIB

dimuat juga dalam buletin Baca ! Sophia edisi II April 2013


Catatan sesi ke-7 Filsafat Pemberontakan

Bicara tentang Ubermensch Nietzsche
Sesi ini termasuk sesi akhir dari tema-tema yang dibicarakan tentang Nietzsche. Kenapa harus Ubermensch? Bukankah seharusnya tema ‘kembalinya segala sesuatu’? Jawabnya, karena ketinggalan filenya di pertemuan sebelumnya. Memang tidak banyak orang yang hadir pada pertemuan sebelumnya. Namun, pertemuan sesi ke-7 ini cukup banyak yang hadir. Dan setiap orang punya pengalamannya sendiri, terkait dengan tema ‘Ubermensch’. Saya pun demikian, ada ‘sesuatu’.
Mari kita bicarakan !

Seru Nietzsche,
Lihatlah, aku mengajarkan Ãœbermensch kepadamu.
Ãœbermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru.
Hendaknya Ãœbermensch menjadi makna dunia ini.
Aku mengingatkan kepadamu, saudara-saudaraku, tetaplah percaya pada dunia
Dan jangan percaya pada mereka yang berbicara kepadamu
tentang harapan-harapan di balik dunia ini.
Mereka ini adalah pengracun, entah mereka tahu atau tidak
(Also Sprach Zarathustra) 

Seruan Nietzsche ini sebenarnya membuat aku bingung, sebentar sambil berusaha berpikir dan mencoba memahaminya. Hahaha...ini teguran ternyata. Kalaupun bernada anti masa depan, kurang lebih begitu. Teguran di waktu sekarang. Yang sebenarnya, jujur, aku takut sekali mendengarnya. Takut untuk menjalani kehidupan ini. Kehidupan yang terbayang hanya detik ini saja, mungkin tak sempat untuk merampungkan tulisan ini.

Saya, yang sedang menjalani studi, sebagai anak pertama dari 4 bersaudara, anak pertama pula, yang jika pulang ke rumah berbagai tekanan hadir, harus menjadi contoh dan pegangan untuk adik-adik saya, terutama terkait dengan perilaku dan usaha untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Artinya harus lebih baik dari orang tua saya sekarang, semua segi kehidupannya. Itu memang wajar.

Dalam studi, saya tak cukup baik. Selama studi seringkali membolos, dengan dalih bahwa materi yang disampaikan dosen kurang menarik, terutama cara mengajar. Saya pikir tidak kuliah adalah lebih baik. Saya bisa melampaui dari semua materi yang diberikan dosen. Namun, tak kunjung hadir. Berbagai alasan datang begitu saja, ketika mulai meniatkan untuk belajar lebih baik. Menghina dosen adalah hobi saya, tentunya dosen yang memang layak dihina, yang tak ada usaha untuk memperbaiki cara mengajarnya, yang merasa santai saja ketika ditugasi mengajar tanpa mahasiswa yang hadir dalam perkuliahannya. Yang banyak alasan untuk tidak datang mengajar dan mengajar dengan cara itu-itu aja. Oke, kritik selalu bisa, otokritik yang sulit. Saya akhirnya harus berada dalam kategori dosen-dosen tersebut, pantas dihina, karena banyak alasan, dan alasan yang terkuat adalah berharap adanya hari esok. Gila, Malas !

Berikutnya, saya yang berusaha aktif dalam berbagai kajian dan termasuk yang mengurus didalamnya, memang tak kunjung membaik. Yang tak habis pikir, alasan selalu saja ada. Tidak ada fasilitaslah, tidak ada danalah, tidak ada yang membantulah....cape nulis alasan tersebut, seribu alasan bisa ditulis. Jika ditanya anehnya bersikap percaya diri, seolah tak ada salah, dengan mengemukakan beribu alasan tersebut, yang sebenarnya tidak ada usaha untuk memperbaiki dan tidak pernah berbuat apa-apa. Tong kosong nyaring bunyinya, perbahasa menyebutnya. Kok jadinya begini ya, tapi memang itu keadaannya. Goblog...itu pasrah !

Tidak terbayang, ketika bertemu dengan orang tua saya, dengan orang yang saya cintai, dengan dosen yang saya sukai, dengan teman-teman yang saya banggakan, dengan orang-orang yang pernah ketemu saya, dengan yang pernah kenal saya tanpa saya mengenalnya, dan mereka melihat saya sekarang ini. Pastinya mereka kasihan pada saya, ketika saya bertemu mereka masih dengan punggung yang lurus sambil berbicara agak lantang. Apalagi jika harus berhadapan dengan diri saya. Kok masih bisa berbohong, aneh kan. Mereka tahu yang sebenarnya, terlebih diri saya sendiri, itu bualan saya. Anjrit ! Bangga dengan kepasrahan, ketidakmampuan, dan malas itu saya pikir sumber utama. Bahkan masalah kemanusiaan sekarang, sepertinya berawal dari malas. 

Owh diriku yang malang.
Apa kurang keras  palu Nietzsche mengetrok kepalaku
Kepalaku yang sering merasa angkuh
Dengan ketidakmampuan
Dengan kemiskinan
Dengan kebodohan
Dengan beribu atau bahkan jutaan alasan
Apa malas adalah jargon hidupku ?
Tidak....tidak....Tidak....
Lalu aku harus bagaimana ?

Memang berbicara ubermensch tidak boleh sekaligus, kerisauan di atas memang membayangkan jika Nietzsche datang dengan langsung dengan ubermensch. Saya memang tidak akan kuat, bahkan jika itu ada, saya sudah membunuhnya ketika mulutnya sedang berbicara atau bahkan memeranginya dengan penuh sadar. Kenapa ? Sangat mengganggu. Mengusik kebohongan saya. Menelisik pada niatan-niatan hati yang dalam, yang culas penuh kedengkian dan kesombongan dan mencoba bersandar pada esok hari, yang jauh.Oke...
Karena itu, memang mengkaji Nietzsche, semua tema harus dimakan semua, ungkap kang Ami. Dimulai dari nihilisme, kehendak untuk berkuasa, ubermensch (manusia atas), kembalinya segala sesuatu, bahkan sejarah kehidupannya sekalipun. Karena jalinan itu semua sangat mempengaruhi sejauh mana kita memahami filsafat pemberontakan ala Nietzsche. Dan cara ini bisa diterapkan untuk mempelajari tokoh-tokoh yang lain.
Ada yang penting saya ungkapkan. Yang unik kemudian, dan tidak akan ada cerita kegalauan diatas kalau cara mengajarnya biasa aja. Kang Ami, memang memberikan porsi yang banyak untuk para peserta yang hadir untuk berbicara tentang pengalamannya. Mengajarkan suatu tema yang tidak jauh dengan diri sendiri, bahkan filsafat sekalipun, yang seringkali dinilai rumit. Yang berangkat dari cerita-cerita kehidupan yang dialami oleh peserta, bahkan dirinya sekalipun. Sehingga, apa yang dialami oleh Nietzsche itu, sebenarnya dialami juga oleh diri sendiri. Dalam bahasa Baba Ycon, bahwa di setiap kebudayaan, cerita itu juga ada, dengan menghadirkan sosok Haji Hasan Mustafa (tokoh pemikir Sunda). Dan saya pun bisa agak-agak mengerti, sesekali  juga berpikir tanpa harus mengacu blak-blakan dengan ungkapan para filusuf.
Kembali pada ubermensch, yang menurut saya termasuk penting, terutama untuk mengatasi kegelisahan diri sendiri. Setelah sebelumnya dalam  tema nihilisme, semua bentuk pegangan ditiadakan. Karena memang tidak menjawab akar dari segala permasalahan hidup, dengan menangguhkan pada kehidupan yang lain atau sesuatu yang diluar diri. Namun, Nietzsche mencoba menawarkan tentang nihilisme aktif, yang merupakan kritik terhadap tokoh yang pernah dikaguminya, Schopenhauer.
Kehendak untuk berkuasa, semangatnya dalam mengatasi nihilisme. Yang seringkali disalahartikan dengan sistem kuasa yang tidak mengenal batas (totalitarianisme). Kehendak untuk berkuasa, seperti apa dan caranya bagaimana ? yang merupakan jawab adalah tema ubermensch selanjutnya dalam pemikiran Nietzsche. Memang tema kehendak untuk berkuasa, terasa gampang diartikan dan dihubungkan dengan negara. Padahal Nietzsche sendiri justru kritis terhadap negara.
Dan Nietzsche juga mengkritik gagasan orang-orang beragama yang memancung kehendak untuk berkuasa dengan penolakan-penolakan terhadap dunia. Dengan aturan-aturan yang represif dan menganggap bahwa gagasan kehendak untuk berkuasa sebagai nafsu, dan itu dosa. Sehingga akhirnya mencoba mencari-cari makna dunia sekarang ini di dunia lain, yang akan datang, yang juga disebut akhirat.
Nah, ubermensch sepertinya sangat penting dihadirkan oleh Nietzsche. Untuk apa ? untuk benar-benar menerima kehidupan yang sekarang ini dijalani, ya untuk kehidupan (Ja-Sagen) timpal Nietzsche cepat. Tidak lagi mencari-cari alasan untuk tidak menerima kondisi yang sekarang saya hadapi, terlebih alasan agama (yang berbicara kepadamu tentang harapan-harapan di balik dunia ini). Apakah itu artinya Nietzsche menolak agama ? saya jawab tidak tahu, tapi semoga saja terjawab dengan sendiri.
Kang Ami mengingatkan akaan pentingnya kata sublimasi, termasuk dalam bahasan sekarang ini. Saya pun kurang mengerti betul, namun saya membayangkan bahwa ubermensch ini juga termasuk dari proses sublimasi tersebut. Dimana gagasan ubermensch ini juga diartikan sebagai manusia yang bisa mengatasi dirinya, nafsu-nafsunya dan kondisi fisiknya (materi). Artinya, semua yang berada dalam diri saya (manusia) diterima dengan sepenuh hati, termasuk menerima kehidupan sekarang ini. Seringkali kita mengalami perdebatan dalam diri, dan itulah proses sublimasi menurut saya. Diri yang berbicara, dan akuilah itu. Tidak peduli pada penampilan, jabatan, atau harta. Kurang lebih, nadanya seperti itu.
Akhirnya, saya harus menghadirkan kata jujur, seperti yang kang Ami kemukakan. Memang susah untuk berbicara jujur pada orang lain, dan sakit untuk jujur pada diri sendiri. Semuanya tentang pengalaman saya dulu, ya itu saya bukan yang lain, titik itu masih saja agak berat buat diamini. Saya memang punya banyak masalah dengan pengalaman masa lalu saya, baik itu masalah dengan keluarga, dengan orang lain, ataupun dengan sikap saya sendiri selama ini, apalagi terhadap makhluk yang namanya wanita. Oke...kalaupun ini sudah dibahas dalam pembahasan yang sebelumnya, sekali lagi, ya itu saya.
Sekarang, Ubermensch sudah saya terima dari Kuliah Filsafat Pemberontakan bersama Kang Ami ini, ubermensch sudah tidak bisa dihindari, ubermensch sudah harus ditelan bulat-bulat (semangatnya), mau tidak mau. Saya harus hijrah akhirnya, semuanya yang telah dilakukan selama ini adalah saya sekarang ini, saya yang sakit, yang tumpul dalam mengatasi masalah keseharian dan berpaling pada alasan-alasan atau dengan malas. Nada-nada dari system of A Down mendukung ke arah sana dalam menemani tulisan ini. Ubermensch memang terlihat sesuatu yang kongkrit dan tidak mengawang-ngawang.
Sehingga saya harus bilang bahwa saya melihat makna Ubermensch ada dalam diri Muhammad, yang tidak hanyut dalam lautan massanya, yang tidak kabawa sakaba-kaba dengan realitas masyarakatnya yang amburadul. Yang berani mengatakan bahwa dirinya bernilai, bahkan sumber nilai. Apa iya begitu ?
Apa masih mau ditolak semangat ubermensch ini, semangat yang menngatasi nafsu-nafsu dalam diri, dan menjadikan diri sebagai tuan daripada naluri-naluri yang datang dari tubuh. Yang terus menyebrang (hijrah) jauh dari tarikan-tarikan kebinatangan menuju manusia atas atau ubermensch. Apa iya Muhammad mengambil makna Ubermensch ?
Sehingga, memang tidak ada lagi menunggu waktu untuk melakukan hijrah dan mengambil makna ubermensch, pesanku pada diri saya sendiri. Jangan lagi berlasan terus menerus, tidak ada yang tidak mungkin dilakukan dalam dunia ini. Tidak lagi seharusnya, karena semangat ubermensch adalah semangat ‘aku ingin’. Kalaupun Dostoevsky pernah berucap, ‘jika tidak ada Tuhan maka semuanya boleh dilakukan’, tapi apakah salah jika Tuhan dihadirkan tetapi tetap semuanya boleh dilakukan dan berkata aku ingin?
Ajaran Nietzsche seperti yang diungkap dalam Also Spach Zarathustranya dengan tokohnya Zarathustra, adalah tentang ubermensch dan kabar bahwa Tuhan telah mati. Ajaran yang harus dipahami keduanya. Menafikan dan membunuh tuhan-tuhan yang mengkerangkeng manusia dengan kehidupannya. Serta mengajarkan tugas suci manusia yang harus mampu mengatasi diri manusia sendiri yang cenderung bersifat destruktif dan memainkan alasan tuhan-tuhan yang dikerdilkan atas nama nafsu kebinatangannya.
Ubermensch bukanlah sebagai final, tapi suatu usaha yang terus menerus berperang dan selalu dalam kondisi berperang yang selalu diliputi oleh semangat kehendak berkuasa,  yang merumuskan aturan dan nilai dengan dirinya sendiri, yang tidak berpaling dari dunia (dunia yang dijalani). Ubermensch adalah makna dunia ini, sekali lagi kata Nietzsche. Makna yang mengarahkan manusia pada suatu kemungkinan maksimal dalam mengelaborasi potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Aku ingin...kamu ingin...lebih berani menghadapi hidup, bukan dengan kepasrahan.
Sambil mengingat-ingat, apakah Nietzsche yang pertama kali mengungkap ubermensch daripada Muhammad? 
Apakah Nietzsche yang pertama kali membunuh Tuhan daripada Muhammad ? 
Apa Muhammad tidak menjauhi sifat kebinatangan seperti isi ilham dari ubermensch ?
Semoga tulisan ini benar-benar mendapat manfaat dari ilham ubermensch, buat saya sendiri. Entah kenapa saya jadi teringat Muhammad, yang memang merupakan suatu niatan baik orang tua saya ketika mencantumkan nama muhammad dalam nama saya. Saya ingat Muhammad karena nama saya, bukan karena sosoknya yang membuat saya malu.
Akhirnya, Puji Tuhan. Alhamdulillah ! Pengetahuan yang menyenangkan.
Hatur tengkyu, buat kang Ami yang selama ini sudah bersedia meluangkan waktunya menjadi fasilitator Kelas Filsafat Pemberontakan selama ini. Terutama tentang sesi Ubermensch, yang saya kira, merupakan titik balik untuk semua para peserta dalam memaknai hidupnya, khususnya bagi saya sendiri.
 Sekali lagi, Puji Tuhan !
Bandung, 4 April 2013, 10.30 wib.

KITA (sebuah cerpen)



Setiap pagi menjelang. Dimana sinar-sinar matahari mulai menampakkan perannya. Mata-mata mulai dibuka ke segala penjuru. Terlihatlah samar-samar memandang yang lainnya. 

Hari itu, ruangan yang penuh dengan gelas-gelas kotor, asbak yang menggunung abu dan puntung rokok tercecer kemana-mana. Di  penjuru ruangan tertempel papan tulis penuh dengan coretan, kalau saja mata Kita coba diarahkan pada papan tulis tersebut, maka terlihatlah suatu skema gerakan yang terorganisir, berbentuk segitiga. Di bagian atas tertulis presiden yang sudah ditimpah tanda silang dengan spidol warna merah. Di bawah kata presiden, deretan nama-nama tertulis, seperti yang Kita tahu dari televisi, itu nama-nama orang terdekat presiden, dekat dengan presiden ada pengawal presiden. Kita sambil mengerenyitkan dahinya, mencoba melihat secara jelas, ini skema gerakan pembunuhan presiden di istana Negara, pikirnya. Namun, yang membuat Kita merasa aneh, paling bawah dari skema itu, namanya terpampang jelas dengan huruf besar semua. KITA.

Sambil menghela nafas, Kita tak berpikir panjang tentang skema perebutan kuasa yang dilihatnya di papan tulis. Kita pergi ke dapur, mengambil sapu, pengki dan alat pembersih yang lain. Membersihkan ruangan yang kotor, hordengnya saja bau asap rokok. Kita semprotkan pewangi ruangan ke segala arah, termasuk hordengnya, biar tidak bau lagi. Sesekali terdengar majikannya mendengkur, keras sekali terasa ke lubang telinga, karena kamarnya memang tak jauh dari ruang kotor. Dengkur majikannya memang selalu menemani setiap aktivitas Kita di pagi hari.

Malam itu memang berisik sekali, ada kurang lebih 20 orang berkumpul di rumah majikannya. Mobil sampai parkir di samping jalan, kebanyakan mobilnya mewah-mewah, sebagian terlihat biasa aja berflat warna merah. Mereka masuk dengan sembunyi-sembunyi, setelah didalam bersalaman dengan majikan Kita, lalu tertawa sedikit-sedikit ditahan. Saling menyahut dalam obrolannya, berisik.
Dulu ketika masih kuliah, Kita senang sekali kumpul bersama dengan teman-temannya. Diskusi tentang bermacam-macam teori, membuat aksi di kampus sendiri menentang kebijakan birokrasi kampus, sampai akhirnya aksi hebat dijalanan melawan Negara yang korup. Sampai suatu ketika, aksi Kita berhasil menurunkan pemimpin Negara, walaupun korban berjatuhan, banyak yang luka terkena pentungan dan lemparan peluru-peluru karet aparat, bahkan sampai beberapa meninggal kena peluru keparat yang beneran. Kita merasa bahagia, karena aksinya berhasil, ada korban memang sudah hukum alam ketika perubahan ingin terwujud. Kita sendiri memang telah dikeluarkan dari kampus, karena aksi dikampusnya dulu. Namun, Kita tak peduli, tujuannya adalah Negara. Negara yang bebas dari korupsi.

Kalaupun Kita sudah dikeluarkan dari kampusnya, Kita masih berhubungan dengan teman-teman kampus. Hobinya memang membaca buku, berdiskusi, sambil sesekali menulis dan coba dikirimkan ke surat kabar, selalu ditolak alias tidak pernah dimuat di surat kabar tersebut. Tulisannya memang kasar, selalu bernada pemberontakan, sering menghina pemerintah dan menghina surat kabar itu karena selalu menolak tulisannya. Untungnya, masih ada rekan-rekan kampusnya yang bersedia memberikan ruang untuk Kita mengekspresikan gagasan-gagasannya, lewat buletin dan majalah kampus. Tentunya majalah kampus berutang banyak pada Kita, yang mewakili identitas sebagai mahasiswa, kritis dan tanpa kompromi. Yang akhirnya jadi sorotan birokrasi kampus.

Kita memang jagonya berdiskusi, terutama dalam menyampaikan teori-teori Negara. Dengan hafal betul teori tersebut, menjadikan dirinya terkenal diantara mahasiswa-mahasiswa yang lain. Kita menaruh hati pada seorang mahasiswi, Kita sempat ketemu dengan idaman hatinya di tempat dia menerangkan teori negaranya dengan jelas. Siapa juga yang tak bangga dekat dengan Kita, akhirnya mahasiswi tersebut mau jalan bareng dengan Kita dan teori-teorinya. Baru putus setelah Kita dikeluarkan dari kampusnya.
Orang tua sang pujaan hati Kita tidak setuju, tidak memberi restu. Sekalipun, Kita telah berhasil menggulingkan pemimpin Negara yang korup. Kita kecewa, tapi tak berlarut-larut. Baginya, semua termasuk pengorbanan yang harus ditanggung untuk hal yang lebih besar. Negara yang mampu memakmurkan rakyatnya, termasuk orang tua perempuan, mantan kekasihnya, yang tak mau kasih restu.

Tahun berganti tahun, 5 tahun setelah aksi heroiknya, Kita mendapat kekecewaan yang sangat. Negara yang dimimpikan tidak terwujud, bahkan semakin parah. Banyak pejabat Negara yang korupsi, dari mulai yang berkantor mewah sampai berkantor alas tanah, semua lembaga Negara hampir korupsi semua. Di bekas kampusnya, malah terang-terangan dan sesuka hati korupsinya, teman-temannya tidak berani seperti Kita. Dan yang paling terasa sakit hatinya, ketika melihat teman-teman aksinya dulu menentang Negara korup, ikut meramaikan demokrasi korupsi, mereka dengan bangga bilang setiap orang punya hak yang sama. Suatu upper cut yang telak, telah merontokkan semua giginya, gigi yang dulu dipakai untuk menerkam dan mengoyak para korup, sekarang tumpul. Anjing, babi, pelacur intelek, dasar tikus budug dan sejumlah sumpah serapah disebut secara serampangan terbata-bata untuk para koruptor, terlebih untuk teman aksinya dulu yang belakangan ternyata terlihat memimpin untuk korupsi. Sumpah serapahnya tidak membuat obat rasa sakit hatinya, rasa kecewanya yang dalam. Voting korupsi = pesta para koruptor. Babi jadah, sekali lagi gumam Kita.

Kita berlari-lari menuju kamar kontrakannya, yang memang cukup jauh dari kampusnya. Di jalan dia bertemu ibu-ibu sedang menggendong bayi, para mahasiswa-mahasiswi, anak-anak kecil yang berlarian pulang dari sekolahnya, mereka terdiam sejenak melihat Kita berlari. Kita mempercepat larinya, apa mereka tidak berpikir tentang dirinya sendiri kalau mereka jadi korban bualan para koruptor, termasuk aku sendiri, korban korupsi, pikirannya lari seperti dirinya. 

Sesampainya di depan kontrakannya, dibanting pintu kamar keras-keras, dikunci 2 kali. Sambil berjalan bolak-balik. 
Apa Aku harus aksi lagi ? 
Apa Aku harus melihat teman aksiku beramai-ramai korupsi lagi ? 
Apa Aku harus ikut korupsi juga ? Tidak…..tidak ! 
Apa artinya darah mereka yang terluka dan bahkan sampai mati ketika aksi ? 
Bagaimana perasaan para orang tua yang melihat anaknya mati ?
 sementara, di luar sana setan-setan korup seperti tidak peduli. Sekarang, 
Aku tidak lulus kuliah, bagaimana kalau Aku lulus, harus berijazah calon koruptor ? Tidak ! 
Aku tidak mau jadi koruptor. Biarkan mereka jadi koruptor, Aku tidak.
“Ya, Aku aksi sendiri, untuk diriku sendiri !”

Dari ruang perpustakaan majikanku, yang penuh dengan warna-warni buku-buku, Aku menghabiskan waktu malamku dengan hobiku, membaca dan menulis dalam buku diary. Di ruang depan, memang gaduh sekali orang berdiskusi, tentang Negara, perebutan kekuasaan, pancung para koruptor, bunuh, dan darah. Aku terdiam sejenak, menghentikan bacaanku. Gumamku sendiri di ruang perpustakaan,
“Apa nyawa A harus melayang, diganti dengan nyawa A lagi ?
Dasar ! orang-orang bodoh !
Yang haus kuasa,
Berucap kebenaran dengan lantang, tanpa bisa menghargai nyawa seorang manusia”

Tak terasa sudah ada sinar mentari masuk melewati celah-celah lubang udara di perpustakaan majikanku, hening sekali. Tak ada lagi obrolan yang memuakan gendang telinga. Aku bergegas ke ruang depan, mata-mataku tertuju bersamaan dengan masuknya sinar-sinar cerah pagi, menembus batas-batas ke segala sudut yang sempit. Semuanya terlihat kotor. 

Aku bersihkan semuanya dengan senang hati, ditemani pancaran Sang Surya, lembut mengusap punggungku yang pegal-pegal akibat semalam tidak tidur. Sampai di teras depan, terlihat mawar merah yang liar mulai merayu rindu. Aku akan petik bunga itu, dan akan Aku tancapkan pada gelungan rambut seorang mahasiswi,  tetangga majikanku, bisik hatiku mesra.

Bandung, 22 Maret 2013, 04.30 WIB.