I
Dalam
suatu obrolan dengan rekan-rekan di kelompok studi Sophia di Bandung, saya
disuguhkan istilah seni menelanjangi diri. Istilah yang pada awalnya dipahami
sebagai bertelanjang tanpa pakaian, secara bersama-sama, dengan malu-malu
awalnya lalu tertawa bersama-sama. Melewati batas malu dan kemaluan,
menyuguhkan setiap lekuk tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yang bagian
hitam terlihat jelas bagian hitamnya, yang bagian putih terlihat jelas
putihnya. Dan akhirnya berkata, kamu begitu rupanya, kamu begitu itunya, kamu
begitu anunya, saya begini dan begitu juga. Hitam putih sama-sama penuh nafsu
dan gairah. Kamu dan saya sama-sama telanjang. Sama-sama manusia.
Dalam
ungkapan nonverbal tersebut, menelanjangi diri bisa diartikan untuk mengetahui
kondisi asli setiap individu-individu yang ada. Melepas setiap bentuk identitas
yang diberikan oleh orang lain dalam relasi sosialnya, dan menghilangkan segala
bentuk pengkategorian yang melekat pada diri. Mencari dan melihat sesuatu yang
unik pada tubuh masing-masing. Terpampang jelas dari tubuhnya saja, yang
disebut tubuh subjektif.
Lalu,
apa yang disebut dengan tubuh subjektif tersebut ? Maksudnya, dari gambaran
tubuh saja, kita sudah melihat perbedaan seseorang dengan yang lainnya, ini
bisa juga diartikan sebagai bakat. Setiap subjek berhak mengekspresikan
tubuhnya masing-masing, yang lainnya menonton dan memahami. Oh ya, memang dia,
tubuh yang subjektif.
Subjek
dalam arti, melihat kepada tubuhnya dan berdialog dengan tubuh-tubuh yang lain
tanpa harus meniru tubuh yang lain. Artinya, dilampauinya dunia luarnya dengan
terus menegmbangkan sisi subjektifnya.
Dengan
cara bagaimana kita mengembangkan sisi subjektif tersebut ? Dengan terus
mengeksplorasi bagian-bagian tubuh, lewat pengetahuan dan berlatih keras
menggerakan tubuhnya. Rasa penasaran merupakan modal penting untuk terus
mencari sejauh mana individu mengetahui dan mempopulerkan tubuhnya.
Bisa
kita bayangkan para penari yang menari di pusat kota budaya semacam Paris di
Perancis. Tentunya tidak sembarang penari bisa tampil menari di kota itu. Atau
di kota Moskow, Rusia, yang terkenal dengan tari baletnya yang khas dan gedung
pertunjukannya yang eksotis, idaman para pekerja seni untuk bisa menunjukan
kebolehannya. Di beberapa kota di Negara kita juga mempunyai tempat yang
seperti itu, sebut saja Taman Ismail Marzuki, Keraton Yogyakarta, Rumentang
Siang Bandung, Kesepuhan Cirebon, Bali dan sebagainya. Karena memang Negara
kita terkenal dengan budaya dan keseniannya.
Dalam
beberapa pertunjukan di kota tersebut, para pekerja seni tidak kenal lelah
berlatih, membaca, mengeluarkan seluruh kemampuan subjektifnya yang unik.
Gairah mengembangkan dan mengeksplorasi inilah yang akhirnya kita bisa melihat
sejauh mana tubuh subjektifnya bekerja, termasuk tubuh subjektif yang ada dalam
diri masing-masing. Ada yang biasa, ada yang unik dan membuat kagum.
Dalam
dunia kesusasteraan misalnya, kita bisa melihat Pramoedya Ananta Toer,
sastrawan kelahiran Blora. Dia mampu meresapi tubuh subjektifnya dalam
karya-karyanya. Jalinan antara biografi kehidupan, realitas diluarnya, dan
hasil bacaannya, dia ceritakan dengan khas sisi tubuh subjektifnya. Penghayatan
terhadap profesinya demikian kuat. Tidak aneh kalau karya sastranya
diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing.
II
Selain
dalam bahasa nonverbal, seni menelanjangi diri juga bisa disalurkan dalam
bahasa verbal. Biasanya dilakukan dalam suatu kelompok yang ingin mengenal jauh
setiap individu-individunya, termasuk di Sophia. Dalam obrolan yang tidak
disengaja dan santai pula, setiap individu mengungkapkan apa yang dialami dan
dihayati dalam hidupnya. Khususnya peristiwa-peristiwa yang member kesan dan
mempengaruhi cara pikir dan lakunya kemudian. Ada yang bercerita, ada yang
mendengar.
Awalnya
terasa berat, tapi karena semuanya bercerita menjadi ramai dan saling memahami.
Waktu seharian tidak cukup, apalagi kalau banyak orang. Menelanjangi dalam
bahasa verbal ini bermaksud untuk menghargai suara-suara subjektif yang keluar
dari dalam hatinya. Suara yang biasanya tertutup oleh rasa gengsi, malu, takut,
yang akhirnya menjadi masalah di kemudian hari, sakit.
Dengan
gaya verbal ini, juga dipahami sebagai merenung, jeda dalam rutinitas
keseharian, mencoba mengenal diri sendiri, sang ‘aku’. Tetapi, adakalanya
terasa sulit untuk melihat diri sendiri jika sendirian. Kenapa ? Karena subjek,
sang ‘aku’, selalu tertaut pada yang lain dalam cara relasinya, dalam
kesadarannya. Baik dalam pikirannya, atupun perbuatannya. Sekalipun dengan cara
pandang demikian (subjek-objek), susah sekali untuk meluangkan waktu memikirkan
sang ‘aku’, subjeknya, diri sendiri. Mentalitas modern yang demikianlah,
akhirnya membuat mencerabut sisi subjektif manusia, dan menjadi penyakit di
masa sekarang ini.
Dengan
cara dialog seni menelanjangi diri ini ditampilkan, setiap orang berposisi
sebagai subjek. Subjek yang bercerita, subjek yang mendengar. Tidak ada
penghakiman etis atas sikap seorang subjek. Biarlah dirinya sendiri yang
menilai ke’aku’annya. Biasanya diselingi banyolan dari yang mendengar.
Emosi lebih dimainkan daripada rasio dalam seni ini.
Hal
lain dalam seni ini, juga menunjukan relasi pengetahuan dengan kehidupan
keseharian manusia. Pengalaman menjadi kata kuncinya. Bagi yang bercerita,
subjek menunjukan pengalaman berikut cara mengatasi hidupnya. Bagi yang
mendengar, mencoba menghayati pengalaman yang bercerita serta membandingkan
dengan pengalaman hidupnya sendiri. Sehingga pengetahuan dan kehidupan nyata si
subjek lebih kompleks dan tidak terjebak pada egogisme dan tuturut
munding dalam peribahasa sunda. Subjek berusaha memahami hiudpnya dan
dirinya berhak memunculkan ciri khasnya.
III
Pada
akhirnya, seni menelanjangi diri dalam gaya nonverbal dan verbalnya ingin
berusaha menghadirkan sisi subjektif manusia dalam relasi dengan dunia luarnya.
Karena tidak ada manusia yang diciptakan dengan sia-sia.
Melepaskan
dulu segala identitas sosial yang semu, sejenak berpaling pada identitas diri,
merumuskan diri sendiri, tubuh subjektif, sang ‘aku’, subjek. Sejauh dengan
kehidupannya selama ini, eksistensi ‘aku’ dipertanyakan kembali. Terkait dengan
perannya menjadi manusia. Sudah berapa jauh tubuh subjektifnya mendayagunakan
potensinya, adakah usaha tersebut ?
Menelanjangi
diri hanya selesai dengan kematian yang penuh dengan percaya diri. Semangatnya
untuk menunjukan diri yang otentik, tidak tergerus oleh irama-irama musik dari
luar. Tubuh subjektifnyalah yang membuat nadanya sendiri dengan gaya yang khas
dirinya.
Ternyata
seni ini hanya bisa dilakukan pada subjek yang mau mengerti tentang sisi
terdalam dalam dirinya. Yang bisa menempatkan manusia lainnya sebagai subjek
dan menghormatinya, seperti menghormati dirinya sendiri.
Menelanjangi
diri juga sadar akan awal yang telanjang dan akhir yang telanjang pula. Pada
kondisi tersebut, tak ada yang melekat selain ke’aku’annya. Tubuh yang
telanjang, yang terus berusaha mengarungi dunia dengan cirinya yang khas. Dan
akhirnya, bertemu dengan SANG SUBJEK yang khas pula disertai canda dan senyumanNya,
bukan subjek tiruan yang murah harganya.
Taman
Baca Sophia, 21 Maret 2013, 04.19 WIB
dimuat juga dalam buletin Baca ! Sophia edisi II April 2013