Kamis, 28 Februari 2013

Catatan Pertemuan kedua Kelas Filsafat Pemberontakan


Jika kamu ingin mengenal seseorang, maka lihatlah teman-temannya (orang yang ada di sekelilingnya/ lingkungannya).”
Review pelajaran di madrasah tsanawiyah dulu

Hari ini, hari kamis seingatku. Sementara yang ingin aku tulis sekarang ini suatu kejadian di senin malam, dalam kuliah filsafat pemberontakan sesi II, terkait biografi kehidupan filusuf, Friedrich Nietzsche.

Malam (menuju pagi) ini aku sedang berada di rumah sakit umum daerah Ciereng Subang. Rumah sakit umum daerah, bebas membesuk kapan saja, boleh merokok di halaman rumah sakit, banyak pedagang kopi+rokok+cemilan, boleh banyak orang tidur di ruang pasien dan sejumlah fasilitas istimewa lainnya. Termasuk dibolehkannya menulis sambil merokok dan meminum kopi di teras belakang kamar pasien, disitulah tulisan ini ditulis perlahan-lahan dengan buku dan pulpen yang dibekal. Kenapa harus menulis di ruangan ini ? Karena lagi ingin, sahutku.

Pertemuan senin kemarin, sudah dapat diduga, masih bersama kang ami. Mataku tak karuan dan ya, aku terlambat beberapa helasan nafas beliau. Ya selalu semangat beliau itu.

Sejarah hidup Nietzsche itu, bisa juga disebut sejarah pemikiran Nietzsche. Nietzsche yang umumnya manusia biasa, sama seperti kita. Bisakah kita membeo hal yang sama, bahwa sejarah hidup kita, adalah sejarah pemikiran kita? Keren kan, kita disamakan dengan filusuf sebesar Nietzsche. Tentunya yang mendengar langsung tersentak kaget, bangun dari rasa kantuknya dan duduk rapih tegap. Lirik kanan-kiri, diam seribu bahasa. Apa gua harus bilang wow gitu? Ya harus atuh. Jika kita.........?

karena itu kang ami, meminta kepada para peserta yang hadir untuk menceritakan sekilas riwayat hidupnya masing-masing. Ada yang singkat, ada yang panjang, ada yang sedih, ada yang bangga (sedih bangga sama-sama cerita). Kang ami mendengarkan dengan seksama, suatu sikap yang harus ditiru oleh para yang merasa dirinya pengajar.

Tidak akan menceritakan biografi Nietzsche disini (untuk menunjukan kerugian orang yang tidak hadir dalam pertemuan kemarin, dan stadium 10 orang yang malas membaca alias bahaya laten). Biografi rekan-rekan di masa lalu, itu harus diakui dan wajib disyukuri. Kenapa? Ya karena itulah diri kita. Jangan dinafikan, apapun itu yang pernah terjadi dalam hidup kita. Saya ulangi lagi, dengan penuh penekanan dan penjelasan, dari biografi maka lahirlah pemikiran. Selanjutnya dari pemikiran, terbentuklah sikap atau cara bertindak. Next, dari sikap menjadi kepribadian (personality). Mulai deh rada mikir, berabe kan kalau punya kepribadian (personality) yang merugikan diri sendiri. Susah bos kalau udah jadi ciri/tanda ke-ada-an yang melekat pada diri. Terlebih jika dapat merugikan yang lain.

Pemberontakan ala Nietzsche ke-2 ini, mempunyai beberapa konsekuensi. Nietzsche mengkritik apa yang disebut rasio modern, rasio yang digunakan para filusuf modern yang bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai kemanusiaan, singkatnya, spiritnya itu disebut humanity. 

Bisa ditelusuri, sebelum zaman modern, kebenaran ada dalam cengkeraman pemimpin agama. Atas nama agama, mereka mengkafirkan banyak orang yang tidak tunduk pada tafsir yang mereka yakini. Contoh, Galileo harus menerima hukuman karena bersebrangan dengan para wakil agama terkait penjelasannya tentang astronomi. Tafsir mereka sudah dipastikan menjadi common sense (kebenaran banyak orang), sekalipun lahir dari pemikiran sedikit orang saja. Karena akibatnya adalah hukuman bagi orang yang mengkritisi pendapat mereka, akhirnya pandangan mereka bisa menjadi pandangan keseluruhan.

Orang-orang mulai merasa jemu dengan kondisi demikian, tak ada (never) kebebasan berpikir. Agama pun menjadi terlihat seperti monster raksasa yang siap melahap orang-orang yang berani menentangnya. Para pemikir modern, sadar bahwa bukan agamanya yang salah, namun cara beragamanya yang ga gaul. Maka muncullah ide-ide mereka dengan menitikberatkan posisi manusia sebagai sentralitas dalam kehidupan ini, dengan tanpa harus menghilangkan peran agama, dan kadang dijadikan sandaran terakhir bagi konsekuensi cara berpikirnya (bandingkan dengan spirit para filusuf Yunani menentang para Dewa-Dewi di panggung pemikiran, spiritnya sama, humanity).

Descartes dengan aliran rasionalismenya, di Inggris bertebaran para filusuf empirisme, Imanuel Kant dengan racikan bumbu dapurnya kritisisme, Hegel dan para Germania dengan idealismenya, Marx via materialismenya dan sejumlah filosuf-filusuf lainnya. Semuanya atas nama membebaskan atau meluhurkan makhluk yang disebut manusia. (coba deh baca novel karya Boris Pasternak, DR Zhivago. Novel yang meraih penghargaan nobel di tahun 1958. ada apakah di Novel tersebut? Baca deh, ga baca rugi—TBM Sophia)

Namun Nietzsche dalam aforismenya meramalkan:
...kebudayaan eropa kita sedang bergerak menuju malapetaka, dengan tekanan yang tercabik yang meningkat dari tahun ke tahun, dengan gerakan-gerakan penuh kegelisahan, kekerasan dan...bagaikan aliran sungai yang sedang hendak mencapai lautan, yang tidak sanggup lagi merenungkan dirinya sendiri, yang takut merenungkan.” (diambil dari buku ST. Sunardi, Nietzsche. LKIS, Yogya)

Apa yang dibangun oleh rasio modern, sebenarnya merendahkan manusia (ahumanity). Misal, diri ini. Diri dengan segala aktivitas-aktivitas tanpa perduli pada nilai-nilai luhur. Agama, moralitas, ilmu pengetahuan, semuanya kita perkosa bergiliran dengan senang hati atas nama 'rasio'. Kebenaran digunakan untuk menghapus sekolompok manusia, memperbudak dan membuat bom waktu yang bisa datang kapan saja dari berbagai arah.

Dari biografi Nietzsche, kita bisa memahami kenapa pemikiran-pemikiran seperti itu hadir dan mencoba manganalisa zamannya. Kang ami pun bertanya, BAGAIMANA DENGAN KAMU? Tugas 2.
Kebenaran dalam pandangan Nietzsche tidak bersifat final, selalu dalam proses menjadi (coba baca tentang pergumulan Parmanides dengan Heraiklitos). Tidak satu, namun banyak. Tak ayal Nietzsche banyak disebut sebagai empunya para kaum Postmodern.

Seperti di rumah sakit ini, macam-macam kebenaran yang diyakini para pasien, apalagi jika ditambah para penjenguknya. Bisa saja yang diyakini para pasien itu doa yang dapat menyembuhkan, bisa juga obat, bisa juga karena banyaknya yang menjenguk. Dari para penjenguknya, bisa saja yang diharapkan adalah kesembuhan si pasien, atau sebaliknya kematian yang cepat karena tak tega melihat derita pasien. Semua keyakinan itu penuh dasar-dasar (sangat terkait dengan riwayat mati-hidupnya). 

Dari sini Nietzsche ingin mengatakan, bahwa kebenaran terkait dengan kehidupan, selalu berubah-ubah tergantung ruang dan waktu, latar belakang dan bagaimana cara kita melihatnya.

Filsafat Pemberontakan ala Nietzsche, lanjut kang ami adalah FILSAFAT KEHIDUPAN. Filsafatnya itu dirasakan dalam keseharian. Yang ingin dicarinya adalah wisdom, sophia, kebijaksanaan. Berbeda dengan orang yang mengetahui filsafat, bisa jadi dalam hidupnya tak ada tempat untuk kata bijak. Dan kebijaksanaan itu bukan lahir tanpa sebab, tapi lewat pengetahuan (membaca), mengelaborasi setiap peristiwa-peristiwa yang ada dalam kehidupan ini (bandingkan kata 'Peristiwa' dalam Alan Badiou), sensibilitas kita ditantang untuk meramunya dengan baik.

Jadi ingat sewaktu sekolah di madrasah tsanawiyah, ungkapan yang mengawali tulisan ini (arabnya lupa lagi). Sepertinya ingin menunjukan hal yang sama dengan tema kuliah ke-2 Filsafat Pemberontakan. Bahwa masa lalu itu hal yang penting dan harus diakui sebagai bagian hidup kita, pintar-pintarlah dalam menyikapinya sekarang.

Sudah mulai menjelang subuh, sampai ketemu lagi di kuliah Filsafat Pemberontakan sesi III, bicara tentang Nihilisme. Pastinya lebih seru. Don't be late hai rais. Senin 25 Februari jam 18.30 WIB.


Teratai 10 lantai bawah kamar paling ujung
RSUD Ciereng Subang, RS yang Fasilitasnya menyenangkan.

Selasa, 12 Februari 2013

Catatan pertama kuliah filsafat Pemberontakan F. Nietzsche


“Membuat orang gelisah, adalah tugas saya”. (F. Nietzsche)

Jam 7 malam selasa, saya bersama rekan-rekan yang lain mendengarkan paparan kang Rosihan Fahmi tentang Filsafat Pemberontakan F. Nietzsche. Selesai adzan isya berkumandang kanga mi memulai ceritanya. Rekan-rekan secara seksama mendengarkan, tak banyak yang menulis, entah karena malas menulis, tak niat menulis atau memang tidak mempersiapkan untuk menulis. Saya sendiri tak menulis karena tak menyiapkan untuk menulis,sesal. Padahal pelupa (akhirnya catatan ini dibuat sambil mengingat-ingat semalam itu).
Dengan ditemani rokok djisamsunya serta kopi luwaknya yang seribuan dapat diwarung, kang ami semangat sekali memaparkan apa itu pemberontakan?, lalu siapa Nietzsche itu? Kuliah yang akan berlangsung selama 2 bulan dengan 8 kali pertemuan dan setiap senin bada isya memang masih menyisakan tanda tanya. Nietzsche itu asing (karena jarang membaca secara intens tentang dirinya), walaupun kata pemberontakan sering didengar, namun menjadi asing ketika bersinggungan dengan Nietzsche.

Apa itu Pemberontakan?
Beberapa contoh disebutkan kang ami, seperti berontak dari kemalasan, berontak dari tidak pernah baca buku, berontak dari yang lainnya, yang tentu saja harus dimengerti dulu apa maksud dari kata berontak?, lalu baru bisa berlanjut dengan apa yang mau diberontak?.

Kata berontak (pemberontakan), saya memahaminya sebagai ungkapan atau tindakan yang ingin lari dari suatu hal yang ingin diberontaknya. Contoh seperti yang kang ami bilang, berontak dari rasa malas, artinya ingin lari atau menjauh dari rasa malas, karena malas itu? (sejuta alasan, bahkan bisa satu alasan sekalipun). Kata berontak biasanya selalu disertai dengan tindakan juga, seperti saya waktu kecil ‘berontak’ terhadap orang tua karena tak diberi lebih uang jajan, spontan sikap saya terhadap orang tua jadi berubah, tak mau disuruh lah, bibir manyun lah pas ditolak proposal pengajuan pertambahan uang jajan, dan sikap lainnya yang menunjukan kalau saya sedang memberontak. Berontak bisa juga diartikan rasa tidak setuju melalui medium bahasa dan tindakan.

Pemberontakan ala Nietzsche
Apa yang Nietzsche berontak? Bagaimana cara memberontak ala Nietzsche? Pertanyaan awal menjelaskan apa, pertanyaan kedua menjelaskan bagaimana. 

Setiap zaman mempunyai otoritas kebenarannya masing-masing, seperti yang kang ami bilang, setidaknya ada 4 otoritas kebenaran. Dan ke-4 ini pernah berkuasa pada zamannya. 4 otoritas itu adalah mitos, agama, sains dan filsafat. Dulu pada zaman Yunani kuno otoritas kebenaran dipegang oleh mitos, setiap aspek dalam kehidupan masyarakat ketika itu di atur dan dijawab oleh mitos. Sampai pada akhirnya muncul oaring-orang yang kritis, yang kali ini disebut para pemberontak (filusuf-filusuf). Mereka mempertanyakan ulang tentang kebenaran mitos tersebut dengan caranya masing-masing.

Tapi ada yang perlu dicatat ulang yaitu, diantara yang 4 itu ada titik persamaannya ungkap kang ami. Yaitu doktrinasi (teks). Dengan artian bahwa kebenaran telah final. Tak bisa diganggu gugat. Tak boleh ditanyakan. Tak boleh dipikirkan atau bahkan tak boleh dibicarakan (pamali).

Namun, dalam pandangan Nietzsche, filsafat masih punya daya kritisnya yang bisa dipakai untuk melihat semuanya (mitos, agama, sains bahkan filsafat itu sendiri). Kebenaran menjadi terombang-ambing. Kebenaran menjadi suatu hal yang penting untuk dibicarakan setiap hari, baik itu lewat dialog (diskusi) ataupun monolog (merenung, bertapa dan sejumlah cara lainnya). Atau jangan-jangan kebenaran itu sendiri apa? Apa yang menjadi sandaran kebenaranmu? Sampai membuat kamu merasa yakin dengan apa yang kamu jalani saat ini. Apa kamu yakin “kebenarannya” dengan jalan hidup yang kamu gunakan saat ini? (tugas pertemuan pertama).

“Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah.
Jika engkau ingin murid kebenaran, Carilah!.” (Nietzsche)

Filsafat dalam anggapan Nietzsche seperti badai yang menghantam karang-karang keras. Badai ini masih dianggap mempunyai daya dobrak yang luar biasa. Membuat celah-celah, menerawang hal yang dianggap berisi padahal kosong,menggucang hati yang risau, menelanjangi setiap bentuk kepalsuan dari yang disebut dengan kebenaran. Yang terselubung itu bisa berkedok apapun hasrat manusia (manusia binatang). Karena itu Nietzsche menawakan suatu cara untuk membebaskan manusia dari ketidakmengertiannya tentang yang berada di sekelilingnya. Dalam sepanjang hidupnya, Nietzsche membaktikan hidupnya untuk filsafat dan ilmu.
Filsafat Pemberontakan ala Nietzsche ini dicoba ditarik dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang kang ami maksud adalah filsafat keseharian. Jadi teringat ungkapan Socrates “hidup yang tak pernah dipikirkan, tak layak untuk dijalani”.   

Filsafat bagi kang ami adalah modal beliau dalam menjalani kehidupannya, terlebih filsafat Nietzsche. Kang ami merasa bangga pernah mengenyam kuliah di IAIN jurusan Aqidah Filsafat. Ketemu dengan maha-maha-maha guru baba Ycon yang kebetulan menyempatkan hadir dalam pertemuan pertama kelas filsafat ini. Banyak pengalaman dengan beliau ungkap kang ami (sampai pernah proposal kanga mi dibakar dan dibuang ke tempat sampah olehnya). Saya baru tahu kalau baba, segitunya. Sekarang kalau baba masih kayak gitu, wah gtw juga deh…(layak untuk dipertimbangkan hahaha)

Kalaupun masih sedikit shock dengan pertemuan pertama kemarin, dan memang suasana kelas belum begitu ramai. Saya dan rekan-rekan lain-lainnya mungkin mengalami hal yang sama (gelisah sambil berusaha mencoba memahami). Pemberontakan ala Nietzsche masih menyisakan banyak pertanyaan, belum banyak yang diketahui. Karena itu, kang ami menyarankan dalam seminggu ini (sampai ketemu senin depan), rekan-rekan disarankan untuk banyak-banyak membaca karya Nietzsche, baik itu yang berhubungan dengan biografinya dan suasana sekeliling Nietzsche ketika membuat aforis-aforismenya, supaya paham betul kenapa ayat-ayat pemberontakan itu dikumandangkan.

Sudah mulai lupa dan tak sabar untuk berbagi dengan rekan-rekan di kelas filsafat Shopia. Sekian dulu catatan ini dibuat. Pertemuan kedua sedang dinantikan.