“Membuat orang gelisah, adalah tugas saya”. (F. Nietzsche)
Jam 7 malam selasa, saya bersama rekan-rekan yang lain
mendengarkan paparan kang Rosihan Fahmi tentang Filsafat Pemberontakan F. Nietzsche.
Selesai adzan isya berkumandang kanga mi memulai ceritanya. Rekan-rekan secara
seksama mendengarkan, tak banyak yang menulis, entah karena malas menulis, tak
niat menulis atau memang tidak mempersiapkan untuk menulis. Saya sendiri tak
menulis karena tak menyiapkan untuk menulis,sesal. Padahal pelupa (akhirnya
catatan ini dibuat sambil mengingat-ingat semalam itu).
Dengan ditemani rokok djisamsunya serta kopi luwaknya yang
seribuan dapat diwarung, kang ami semangat sekali memaparkan apa itu pemberontakan?,
lalu siapa Nietzsche itu? Kuliah yang akan berlangsung selama 2 bulan dengan 8
kali pertemuan dan setiap senin bada isya memang masih menyisakan tanda tanya.
Nietzsche itu asing (karena jarang membaca secara intens tentang dirinya),
walaupun kata pemberontakan sering didengar, namun menjadi asing ketika
bersinggungan dengan Nietzsche.
Apa itu Pemberontakan?
Beberapa contoh disebutkan kang ami, seperti berontak dari
kemalasan, berontak dari tidak pernah baca buku, berontak dari yang lainnya,
yang tentu saja harus dimengerti dulu apa maksud dari kata berontak?, lalu baru
bisa berlanjut dengan apa yang mau diberontak?.
Kata berontak (pemberontakan), saya memahaminya sebagai
ungkapan atau tindakan yang ingin lari dari suatu hal yang ingin diberontaknya.
Contoh seperti yang kang ami bilang, berontak dari rasa malas, artinya ingin
lari atau menjauh dari rasa malas, karena malas itu? (sejuta alasan, bahkan
bisa satu alasan sekalipun). Kata berontak biasanya selalu disertai dengan
tindakan juga, seperti saya waktu kecil ‘berontak’ terhadap orang tua karena
tak diberi lebih uang jajan, spontan sikap saya terhadap orang tua jadi
berubah, tak mau disuruh lah, bibir manyun lah pas ditolak proposal pengajuan
pertambahan uang jajan, dan sikap lainnya yang menunjukan kalau saya sedang
memberontak. Berontak bisa juga diartikan rasa tidak setuju melalui medium
bahasa dan tindakan.
Pemberontakan ala Nietzsche
Apa yang Nietzsche berontak? Bagaimana cara memberontak ala
Nietzsche? Pertanyaan awal menjelaskan apa, pertanyaan kedua menjelaskan
bagaimana.
Setiap zaman mempunyai otoritas kebenarannya masing-masing,
seperti yang kang ami bilang, setidaknya ada 4 otoritas kebenaran. Dan ke-4 ini
pernah berkuasa pada zamannya. 4 otoritas itu adalah mitos, agama, sains dan
filsafat. Dulu pada zaman Yunani kuno otoritas kebenaran dipegang oleh mitos,
setiap aspek dalam kehidupan masyarakat ketika itu di atur dan dijawab oleh
mitos. Sampai pada akhirnya muncul oaring-orang yang kritis, yang kali ini
disebut para pemberontak (filusuf-filusuf). Mereka mempertanyakan ulang tentang
kebenaran mitos tersebut dengan caranya masing-masing.
Tapi ada yang perlu dicatat ulang yaitu, diantara yang 4 itu
ada titik persamaannya ungkap kang ami. Yaitu doktrinasi (teks). Dengan artian
bahwa kebenaran telah final. Tak bisa diganggu gugat. Tak boleh ditanyakan. Tak
boleh dipikirkan atau bahkan tak boleh dibicarakan (pamali).
Namun, dalam pandangan Nietzsche, filsafat masih punya daya
kritisnya yang bisa dipakai untuk melihat semuanya (mitos, agama, sains bahkan
filsafat itu sendiri). Kebenaran menjadi terombang-ambing. Kebenaran menjadi
suatu hal yang penting untuk dibicarakan setiap hari, baik itu lewat dialog
(diskusi) ataupun monolog (merenung, bertapa dan sejumlah cara lainnya). Atau
jangan-jangan kebenaran itu sendiri apa? Apa yang menjadi sandaran kebenaranmu?
Sampai membuat kamu merasa yakin dengan apa yang kamu jalani saat ini. Apa kamu
yakin “kebenarannya” dengan jalan hidup yang kamu gunakan saat ini? (tugas
pertemuan pertama).
“Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan,
percayalah.
Jika engkau ingin murid kebenaran, Carilah!.” (Nietzsche)
Filsafat dalam anggapan Nietzsche seperti badai yang
menghantam karang-karang keras. Badai ini masih dianggap mempunyai daya dobrak
yang luar biasa. Membuat celah-celah, menerawang hal yang dianggap berisi
padahal kosong,menggucang hati yang risau, menelanjangi setiap bentuk kepalsuan
dari yang disebut dengan kebenaran. Yang terselubung itu bisa berkedok apapun
hasrat manusia (manusia binatang). Karena itu Nietzsche menawakan suatu cara
untuk membebaskan manusia dari ketidakmengertiannya tentang yang berada di
sekelilingnya. Dalam sepanjang hidupnya, Nietzsche membaktikan hidupnya untuk
filsafat dan ilmu.
Filsafat Pemberontakan ala Nietzsche ini dicoba ditarik
dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang kang ami maksud adalah filsafat
keseharian. Jadi teringat ungkapan Socrates “hidup yang tak pernah dipikirkan,
tak layak untuk dijalani”.
Filsafat bagi
kang ami adalah modal beliau dalam menjalani kehidupannya, terlebih filsafat
Nietzsche. Kang ami merasa bangga pernah mengenyam kuliah di IAIN jurusan
Aqidah Filsafat. Ketemu dengan maha-maha-maha guru baba Ycon yang kebetulan
menyempatkan hadir dalam pertemuan pertama kelas filsafat ini. Banyak pengalaman
dengan beliau ungkap kang ami (sampai pernah proposal kanga mi dibakar dan
dibuang ke tempat sampah olehnya). Saya baru tahu kalau baba, segitunya.
Sekarang kalau baba masih kayak gitu, wah gtw juga deh…(layak untuk
dipertimbangkan hahaha)
Kalaupun masih sedikit shock dengan pertemuan pertama
kemarin, dan memang suasana kelas belum begitu ramai. Saya dan rekan-rekan
lain-lainnya mungkin mengalami hal yang sama (gelisah sambil berusaha mencoba
memahami). Pemberontakan ala Nietzsche masih menyisakan banyak pertanyaan,
belum banyak yang diketahui. Karena itu, kang ami menyarankan dalam seminggu
ini (sampai ketemu senin depan), rekan-rekan disarankan untuk banyak-banyak
membaca karya Nietzsche, baik itu yang berhubungan dengan biografinya dan
suasana sekeliling Nietzsche ketika membuat aforis-aforismenya, supaya paham
betul kenapa ayat-ayat pemberontakan itu dikumandangkan.
Sudah mulai lupa dan tak sabar untuk berbagi dengan
rekan-rekan di kelas filsafat Shopia. Sekian dulu catatan ini dibuat. Pertemuan
kedua sedang dinantikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar